Quantcast
Channel: Sultranews.com | Situs Berita Sulawesi Tenggara
Viewing all 221 articles
Browse latest View live

Solar Langkah Di Bombana, Dewan Endus Permainan Pihak SPBU-

$
0
0
ilustrasi

Mencium Aroma Kemiskinan di Pelosok Wawonii

$
0
0
Potret kemiskinan masih membelit kehidupan sebagian masyarakat di pesisir di Sultra. YOSHASRUL/SULTRANEWS.COM 
KONKEP, SULTRANEWS-Mesjid Al Amin berdiri tepat di pinggir jalan Desa Puuwulu yang penuh lubang. Kondisi bangunannya  memprihatinkan. Bagian-bagian bangunan yang seluruhnya terbuat dari bahan ramuan kayu itu sudah mengalami pelapukan. Bahkan, tiang utama penyangga gedung sudah nyaris roboh. Karena kondisinya yang memprihatinkan itu, warga urung beribadah di masjid itu.

Kondisi yang sama terjadi pada bangunan balai desa yang terletak beberapa meter dari masjid Al Amin. Setengah dinding bangunan yang terbuat dari kayu  nampak kotor dan kusam, akibat sudah lama tak digunakan pemerintah setempat.

Tak sampai disitu, kondisi infrastruktur seperti jalan dan jembatan semua dalam kondisi rusak. Ini tampak dari sebuah jembatan sepanjang 15 meter hanya memiliki lebar 1,5 meter sehingga hanya dapat dilalui kendaraan roda dua. "Lantai jembatan yang terbuat dari kayu sudah mengalami pelapukan dan saat banjir maupun air laut pasang, jembatan ini tidak dapat dilalui warga terutama anak sekolah,"kata Ruru, warga  setempat, saat ditemui awal Maret 2015 lalu.

Jembatan ini memang memiliki arti penting bagi warga, karena merupakan jalur penghubungan antar desa, diantaranya ke desa Morobea, Batumea dan Desa Wahara yang merupakan jalur terdekat untuk mendistribusikan bahan pangan dan ekonomi  warga, menuju ibu kota langara.

Desa Puuwulu adalah desa transmigrasi yang seluruh warganya eksodus berasal dari Ambon
(Maluku). Mereka mengungsi setelah pecahnya perang berdimensi agama di wilayah negeri ambon manise tersebut. Sebagai masyarakat nelayan, selain tanah dan rumah, warga juga diberikan bantuan makanan dan sarana alat tangkap ikan, seperti perahu, jarring dan mesin tempel.

Sayang tak semua warga pengungsi bertahan hidup di desa ini, sebagian besar  dari mereka memilih kembali ke Ambon seiring situasi  yang sudah kondusif. Bagi mereka yang memilih bertahan jumlah tidak terlalu banyak diperkirakan tersisa 50 KK, mereka hidup dengan kondisi ekonomi yang terbatas, kurangnya pengetahuan warga tentang kegiatan nelayan. Begitu pula, masyarakat tidak punya keahlian di bidang pertanian padahal faktanya tanah di Puuwulu  cukup baik untuk pertanian dan perkebunan rakyat.

LSM Komnasdesa-Sultra yang sejak tahun 2004 melakukan proses monitoring di Pulau Wawonii menilai masih menemukan ketimpangan pembangunan di sejumlah pelosok pulau ini.

"Dari perjalanan monitoring selama ini, kita dapat merasakan aroma kemiskinan yang akut dan  kian terasa saat masuk jauh ke polosok pesisir Kecamatan Wawonii Tengah ini. Tercermin dari kehidupan sehari-hari warga di sejumlah desa, salah satunya ada di Desa Puuwulu, di mana  rumah-rumah penduduk terbangun seadanya. Hanya ada sedikit rumah berbahan semen, sisanya lebih banyak rumah berbahan ramuan kayu,"demikian Imannce Al Rachman, Direktur LSM Komnasdesa-Sultra  .

Mengacu definisi penduduk miskin, maka desa Puuwulu dapat didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya kurang dari kebutuhan yang diperlukan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggalnya. Pun dengan kecukupan pengeluaran konsumsi makanan warga yang rata-rata sebesar Rp 20.000 per hari. Hasil penelitian menujukkan sumber pendapatan ekonomi masyakarat sangat tidak menentu. Pendapatan perkapita penduduk di bawah angka rata-rata kehidupan layak masyarakat pada umumnya.

Pasalnya, warga yang mayoritas nelayan tidak benar-benar menjelma menjadi nelayan yang sesungguhnya. Seperti diungkapkan Hamid (43 tahun), warga Desa Puuwulu, bahwa, mereka mencari ikan hanya untuk sekedar bertahan hidup. “Ikan yang kami cari hanya untuk dikonsumsi pribadi,”ujarnya.

Ada banyak kendala memayungi kehidupan warga nelayan Puuwulu, salah satunya  minimnya peralatan tangkap yang dimiliki. Di desa hanya ada 2 orang warga nelayan yang memiliki alat tangkap, itu pun hanya berupa sampan dan beberapa meter jaring kecil.  Kondisi ini tentu berdampak pada kebutuhan hidup warga yang serba kekurangan. Warga terkadang harus membarter tangkapan mereka demi mendapatkan sekilo beras.

Kondisi ini pula yang membuat warga tak lagi melanjutkan pendidikan anak-anak mereka. Sebagian besar anak desa banyak yang putus sekolah dan hanya tamat sekolah dasar. Warga juga tak tersentuh sarana kesehatan yang membuat banyak warga mengandalkan dukun untuk berobat.

Sebenarnya, desa yang terletak di pinggir pantai ini memiliki potensi sumber daya alam yang tak kalah dari daerah lain di Wawonii, yakni, mengandung tambang pasir kwarsa yang belum dijamah hingga kini. Luas areal diperkirakan mencapai puluhan hektar.  Di atas hamparan pasir kwarsa, tumbuh potensi lain berupa tumbuhan bernama kolosua. Bunga kolosua tumbuh dalam koloni besar dalam hamparan lahan luas mirip padang ilalang dengan bentuk batang tumbuh tegak lurus.

Sejak lama, tumbuhan bunga kolosua oleh warga dimanfaatkan untuk membuat kerajinan handycraf  berupa tikar alas. Jauh sebelum puuwulu mekar, warga di sepanjang pesisir, seperti Batumea  hingga ke kawasan Lampeapi menjadikan kolosua sebagai bahan membuat tikar. Warga membuat kerajinan tikar di saat musim panen belum tiba dan biasanya warga bekerja berkelompok  Hasil kerajinan ada yang digunakan sendiri serta ada pula yang dijual kepada warga di desa-desa lainnya. (Yoshasrul)

Soal Pilkades Serentak di Bombana

$
0
0


Teka-teki pelaksanaan pemilihan kepala desa di Kabupaten Bombana hingga kini belum ada kepastian. Suasana musrembang di Desa Uwumbangka, Bombana. foto: Yoshasrul 
BOMBANA, SULTRANEWS-Teka teki terkait kapan pelaksanaan Pilkades serentak di Kabupaten Bombana, belum bisa terjawab.

Pemkab Bombana mengaku tinggal menunggu kesiapan DPRD Bombana. Sebab Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) secara Langsung tersebut, sudah lama disodorkan ke pihak DPRD Bombana untuk dibahas bersama.

"Kami tinggal menunggu kapan dipanggil pembahasannya. Sebab sejak Januari lalu, kami sudah sodorkan Raperda itu ke DPRD," pungkas Mahyuddin, kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah Desa dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Bombana.

Namun anggapan Mahyuddin itu ditimpali anggota DPRD Bombana. "Belum ada usulan itu. Saya ini di Badan Legislasi. Belum ada usulan Raperda pilkades langsung itu masuk. Lalu apanya yang dibahas. Jika mereka (Pemkab) katakan sudah diusulkan. Kapan dimasukan itu," terang Heryanto anggota DPRD.

Polemik tentang kapan pelaksanaan Pilkades langsung di Kabupaten Bombana masih Kabur. Akibat Perdanya belum juga dogodok,  sebanyak 105 dari total 116 Desa  terpaksa dipimpin oleh pelaksana tugas dari Pegawai Negeri Sipil.

Padahal sejumlah Desa sudah menyatakan kesiapan untuk menggelar pilkades. Tapi harapan itu terbentur, akibatnya regulasi perdanya belum juga di godok.

kini, baik Calon Kades maupun  masyarakat yang dambakan kades devenitif, belum bisa berbuat apa apa akibat perdanya belum ada titik terang. (DAR)

LEPMIL: Tunda Perda, Pemda Bombana Langgar Hak Asasi Masyarakat Adat

$
0
0


BOMBANA, SULTRANEWS- Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LePMIL) menyerukan kepada Pemerintah Kabupaten Bombana untuk tidak menunda lagi pembuatan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan Masyarakat Adat Etnis Moronene di Kampo (kampung) Hukaea Laea, Bombana, Sulawesi Tenggara. 

Menurut LePMIL, Pemerintah Daerah telah melakukan upaya pelanggaran Hak Asasi Manusia jika tidak segera menerbitkan Perda untuk memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat yang tinggal di wilayah mereka. 

Konsultasi publik untuk membahas rancangan naskah akademik untuk usulan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bombana tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Moronene Tobu Hukaea Laea, sudah dilakukan pada Rabu, 11 Maret 2015, di Kantor Bupati Bombana, Sulawesi Tenggara. 

“Setiap warga negara Indonesia, termasuk masyarakat adat, berhak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum, dimanapun mereka tinggal. Saat ini, konflik sangat rentan terjadi antara masyarakat adat Moronene Hukaea Laea dengan pihak lain karena keberadaan mereka tidak diakui secara hukum, termasuk dengan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sebagai institusi pengelola wilayah taman nasional,” kata Sarmin Ginca, Senior Program Development LePMIL, LSM lingkungan yang berbasis di Kendari. 

Sarmin menambahkan, bahwa Perda yang diusulkan sudah sesuai dengan dasar hukum pengakuan masyarakat Adat yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X tahun 2012 dan Permendagri No. 52 tahun 2014.

Sejarah konflik antara masyarakat adat Moronene di Hekaea Laea dengan pihak Taman Nasional sendiri cukup panjang. Pada tahun 1997 hingga 2000, misalnya, disinyalir terdapat upaya tahunan untuk mengusir masyarakat adat dari wilayah Taman Nasional. Sekitar 13 orang anggota masyarakat adat ditahan atas tuduhan perambahan dan merusak kawasan konservasi. 

“LePMIL mendorong Pemda Bombana untuk segera mengesahkan Peraturan Daerah tentang masyarakat adat ini. Perda ini adalah sebuah bukti bahwa Pemerintah Daerah Bombana menepati komitmennya untuk memastikan Hak Asasi Manusia tidak dilanggar,” tambah Sarmin.  

Konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan terkait ini juga merupakan upaya lanjutan untuk mendorong pengakuan akan masyarakat adat yang telah dimulai sejak tahun 2000-an. Masyarakat adat Moronene Hukaea Laea percaya bahwa keseimbangan alam wajib dijaga. Kearifan lokal yang turun temurun dipertahankan ini membuat kawasan konservasi tetap terjaga dan lestari. 

“Keberadaan masyarakat adat di dalam kawasan Taman Nasional justru dapat menjadi keuntungan.  Mereka, dengan kearifan lokalnya, membantu mengeliminasi risiko perambahan liar di dalam kawasan konservasi yang kerap dilakukan oleh pihak luar,” tambah Erwin, pendamping masyarakat adat. 

Sarmin memastikan bahwa pihaknya dan jajaran LSM lain akan mengapresiasi langkah Pemda dalam melindungi nasyarakat adat dan berkomitmen untuk bersama-sama mendorong perdamaian serta meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Ukaya. 

Saat ini, tercatat sebanyak 110 kepala keluarga atau sekitar 400 orang masyarakat adat Moronene Tobu Hukaea Laea yang tinggal di dalam wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Matumohai seluas 105.192 hektar di Sulawesi Tenggara. Melalui Peraturan Daerah yang diusulkan, masyarakat adat diharapkan dapat diakui keberadaannya dan dizinkan untuk menempati dan ikut menjaga serta melestarikan 1/5 dari total wilayah Taman Nasional.
 Beberapa masyarakat adat lainnya yang telah diakui keberadaannya secara hukum diantaranya adalah Suku Malinau di Provinsi Kalimantan Timur dan Suku Wana, di Morowali, Sulawesi Tengah. (BADAR)
 

Gubernur Didesak Cabut Ijin Perusahaan Tambang Emas di Bombana

$
0
0
Aksi unjuk rasa massa Gempur di kantor DPRD Bombana. foto: BADAR
BOMBANA, SULTRANEWS-Keberadaan Perusahaan tambang emas PT Panca Logam Makmur (PLM) di Kecamatan Rarowatu,  Kabupaten Bombana disebut-sebut merugikan negara  akibat tidak melunasi kewajiban berupa tunggakan royalti sebesar Rp 8 Milyar  untuk negara.Untuk itu Gubernur Sulawesi Tenggara H. Nur Alam diminta untuk segera mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tambang yang telah beroperasi selama 7 tahun tersebut.

Inilah yang dilakukan puluhan masyarakat dan Mahasiswa yang tergabung dalam  Gerakan Peduli Rakyat (Gempur) Kabupaten Bombana berdemonstrasi di depan Kantor DPRD Bombana, Rabu (25/3)
lalu. Mereka mendesak Bupati Bombana H. Tafdil dan pihak DPRD untuk segra memproses rekomendasi pencabutan IUP PT PLM.

"Perusahaan ini hadir di Bombana tidak memberi kesejahterakan bagi masyarakat. Bahkan keberadaannya membuat resah. Buktinya, Kewajiban Royalti saja, tidak dibayarnya," terang Dasril Koordinator Lapangan Gempur.

Dasril beberkan data bahwa, pendapatan PT. PLM  sangat fantastik. Setahun bisa capai 128 Miliar. Namun ironinya, besarnya pendapatan itu tidak dibarengi dengan pelunasan sejumlah tunggakan Royalti untuk daerah.

"Perusahaan ini terbukti bandel. Catatan kami, PT Panca Logam mampu meraup emas sekitar 275 kg pertahun. Jika dikonversi 1 gram emas = 400 ribu. Maka total pendapatan perusahaan ini, setahun capai 128 Miliar. Tapi anehnya, tunggakan Royalti 8 miliar saja tidak mau dibayar. Lalu daerah akan dapat apa," ulas Dasril

Data delapan Miliar yang disuarakan Gempur ini, merupakan tunggakan Royalti PT PLM sejak tahun 2013-2014 di Kabupaten Bombana. "Kami minta agar Bupati Bombana bersama DPRD segra mengeluarkan Rekomendasi Kepada Gubernur untuk mencabut IUP PT PLM. Pemda harus tegas soal tunggakan ini," ancam Andi Mashap personil Gempur.

Menurutnya, sudah banyak pelanggaran bagi perusahaan tambang di Bombana yang rugikan daerah dan masyarakat, tapi enggan disikapi  Pemda Bombana. "Kami minta kali ini Pemda serius dan tegas sikapi persoalan.  Jangan ada lagi toleransi. Kami akan kawal, bagi siapapun perusahaan tambang yang rugikan rakyat dan daerah patut diberi sanksi," tegas Andi Mahsab.

Sementara itu, Yusuf Lara, Kadis Pertambangan dan Energi Kabupaten Bombana tidak menampik atas temuan Gempur ini. "Untuk royalti, memang PT PLM menunggak. Berkali kali kami surati terkait pelunasan pmbayaran royalti ini, Namun pihak perusahaan belum juga membayarnya," terangnya.

Terkait tuntutan pencabutan IUP, Mantan Kabid darat Dishub Bombana ini, menegaskan proses pencabutan IUP sudah jadi kewenangan Gubernur, bukan lagi kewenangan pemerintah daerah atau Bupati Bombana.

Sementara itu, menyingkapi aspirasi Gempur, DPRD Bombana berencana akan memanggil pihak PT. PLM. "Dalam waktu dekat, Dewan akan memangil perusahaan ini guna meyelesaikan persoalan royalti maupun tunggakan lainnya ," pungkas Andi Firman, Ketua DPRD Bombana.

Kata Politisi PAN ini, dewan akan mengumpulkan dulu sejumlah data baru mengeluarkan sebuah rekomendasi. (DAR)

Mengintip Daerah Penghasil Sayur di Wawonii

$
0
0

KONSEP, SULTRANEWS-JIKA ada yang bertanya dari mana sayur mayur segar di wawonii diperoleh? Maka jawabanya adalah Desa Wawo Indah. Ya, sejak desa ini terbentuk 1991 silam, stigma sebagai desa penghasil sayur mayur ikut melekat.  Betapa tidak  desa ini menyuplai  sayuran terbesar sampai ke wilayah Wawonii Barat dan Wawonii Selatan.

Di tanah desa yang subur tumbuh aneka tanaman palawija, dari sawi, wortel, bayam, kacang panjang, kangkung, kacang tanah, jagung dan ubi kayu. Keberadaan aneka tanaman jangka pendek ini terbukti menjadi modal besar bagi ketahanan  pangan desa dan wilayah sekitarnya.

Suharno, Sekdes Wawo Indah mengaku Petani yang berasal dari Jawa dan Bali menjadi petani andalan yang terkenal ulet dan paling banyak berkontribusi menanam sayuran. “Selain sayuran segar diperdagangkan ke desa-desa terdekat dan ada pula yang  dalam jumlah besar yang disuplay ke wilayah seperti Barat, Selatan dan ke Utara Wawonii,”kata Suharno.

Desa Wawo Indah terletak di Kecamatan Wawonii Tengah Kabupaten Konawe Kepulauan dimana secara administrasi, desa ini merupakan salah satu lokasi transmigrasi di Konawe Kepulauan. Desa ini secara khusus dialokasikan sebagai pemukiman transmigrasi yang berasal dari Jawa, Bali, Flores, Bugis dan beberapa transmigran lokal yang berasal dari Desa Lampeapi.

Pada awal berdirinya, desa yang menjadi wilayah monitoring LSM Komnasdesa-Sultra ini dihuni sebanyak 300 KK (Kepala Keluarga). Namun karena berbagai alasan hampir setengah dari penduduk desa ini kembali ke daerah asal masing-masing terutama transmigran asal Jawa. Begitu pula dengan transmigran lokal, beberapa dari mereka pun berbondong-bondong pulang ke desa asal.

Meski demikian, tak semua mau kembali, mengingat sulitnya lapangan pekerjaan di kampung halaman. Berkat kesabaran dan keuletan, perlahan desa Wawo Indah menjelma menjadi desa yang subur. Untuk memperkuat posisi petani, warga kemudian menghimpun diri dalam asosiasi tani. Setidaknya terdapat 6 kelompok petani dan 1 kelompok nelayan yang dibentuk. Jumlah kelompok nelayan yang sedikit menggambarkan bahwa aktivitas melaut / nelayan di desa ini sangat sedikit dan hanya merupakan kegiatan sampingan.

Kelompok-kelompok tani tersebut sekaligus berfungsi sebagai wadah penyaluran bantuan dari Dinas Pertanian berupa bantuan pembibitan beberapa jenis tanaman seperti jati putih, pala dan sengon putih pada tahun 2013 yang lalu.

Sebagai penunjang perekonomian, di desa ini juga pernah berdiri KUD dan akhirnya bubar. Di samping itu juga, sebagian besar ibu-ibu di desa ini aktif terlibat dalam kegiatan bulanan PNPM yaitu Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang berjumlah 3 kelompok.

Seperti halnya Desa Mekar Sari, komoditas utama desa Wawo Indah selain penghasil sayur matur, lebih didominasi oleh 2 (dua) jenis tanaman palawija yaitu mete dan kelapa, dimana hasilnya  kebanyakan dipasarkan di Kota Kendari dan kadang-kadang juga di jual kepada para penampung lokal.

Jika pasaran komoditas adalah penampung di Kota Kendari, maka sebagian besar petani di desa ini bekerja sama dengan juragan kapal dalam hal “bebas” ongkos muat. Para juragan kapal akan mendapatkan persen dari petani setelah komoditas mereka telah laku terjual.

Nicolaus, Kepala Desa Mekar Sari yang sebelumnya juga merupakan penduduk Wawo Indah – menjelaskan, bahwa, ada persoalan mendasar yang menganggu dan menghantui warga selama ini, yakni masalah sengketa lahan II masyarakat Wawo Indah dengan pihak Dinas Kehutanan. Ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara BPN dengan Dinas Kehutanan, sehingga yang terjadi adalah adanya saling klaim kepemilikan antar kedua instansi tersebut.

“Kalau begini kondisinya, berarti kami-kami ini, waktu mau dibawa ke sini telah ditipu, karena lahan II di Wawo Indah sana disengketakan dengan pebisnis kayu milik pemerintah,” kata Suyatno, Imam Desa Mekar Sari sekaligus pemilik tanah di lahan II.

Suyatno menduga, mungkin karena alasan itu pula sebagai orang desa memilih hengkang kembali ke kampung halaman. “Ada sekitar 150-an orang Jawa yang memilih balik ke kampung asal dengan berbagai alasan,”ungkapnya.

Pada prinsipnya, hak kelola masyarakat atas tanah di Desa Wowo Indah memiliki kesamaan dengan masyarakat di Desa Mekar Sari dalam hal kepemilikan dan luas lahan yang diterima. Kepemilikan tanah di dua desa ini merupakan tanggung jawab sekaligus  kebijakan dari Pemda Konawe, baik luasan lahan maupun proses sertifikasi tanah mereka.

Sejak awal berdirinya sampai sekarang, Desa Wawo Indah sudah mengalami 5 periode pergantian kepala desa. Kepala desa pertama dijabat oleh Masenggana (Suku Tolaki), selanjutnya adalah Hata (Suku Tolaki), I Made Sadre (Bali),  Asbullah (Jawa) menjabat 2 (dua) periode hingga sekarang. Proses pemekaran semakin menciutkan jumlah penduduk Wawo Indah  dimana jumlah kepala keluarga yang tersisa di desa ini adalah sebanya 74 KK yang terdiri dari beberapa etnis/suku antara lain: Tolaki, Wawonii, Jawa, Flores, Bali dan Bugis.

Menurut keterangan Suharno – Sekdes Wawo Indah – diketahui bahwa suku paling dominan di desa ini adalah suku Tolaki, kemudian Flores, Jawa, Bugis dan paling sedikit adalah etnis Bali.

Diketahui juga bahwa agama paling dominan di desa ini adalah agama Islam, kemudian Kristen Katolik dan terakhir adalah Hindu. Untuk menunjang kegiatan peribadatan di desa ini, telah pula dibangun 1 buah Masjid, 1 buah Gereja dan 1 buah Pura. (Firman Komdes)

Diaspora Nelayan Lamongupa di Pulau Wawonii

$
0
0
Ikan hasil tangkapan nelayan Desa Lamongupa, Kecamatan  Wawonii Tengah. Tampak anggota LSM Komnasdesa-Sultra, Firman Fisoe saat melakukan wawancara dengan nelayan di Desa Lamongupa yang menjadi daerah dampingan penguatan masyarakat pesisir Wawonii. foto: HERIKSAN/ PROPERTI LSM KOMNASDESA-SULTRA

Enam puluh Delapan tahun silam mereka hadir sebagai saudagar beras. gula,
Oleh kebijakan distrik pada saat itu. mereka dibukakan satu desa khusus.
Kini mereka 75 persen bekerja sebagai nelayan
.

HARI menjelang sore, Burhan (49 tahun) nampak sibuk menghampar ikan di pinggir jalan desa yang tak seberapa luas. Ikan-ikan ini baru saja turun dari perahu sehingga nampak segar.  Orang di kampong menyebutnya ikan sori, mungkin karena bentuk mulut ikan yang panjang. Burhan langsung menyimpan ke dalam baskom yang sudah dia siapkan sebelumnya, selanjutnya dijual ke warga sekitar dan warga di desa-desa tetangga.

Hasil studi ruang wilayah Wawonii oleh LSM Komnasdesa-Sultra diperoleh  gambaran yang berbeda dari desa Lamongupa dengan desa-desa lainnya di pulau wawonii, dimana penduduk Desa Lamongupa justeru menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Hal ini lebih didukung oleh kondisi desa yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pesisir.

Sedangkan di bidang pertanian, hanya dijalankan oleh sebagian kecil masyarakat di desa ini, dan hanya dianggap sebagai kegiatan sampingan bagi mereka. Ikan hasil tangkapan biasanya di pasarkan oleh ibu-ibu ke desa-desa tengga hingga ke wilayah Kecamatan Wawonii Selatan.

Sukardin – Tokoh Adat – memaparkan bahwa Desa Lamongupa menyediakan suplay ikan bagi desa-desa tentangga di Wawonii Tengah, termasuk Wawonii Selatan."Boleh dibilang desa ini adalah penghasil ikan,"katanya. 

Menurutnya, ada beberapa kendala yang kerap dihadapi oleh para nelayan di Desa Lamungupa, yakni belum tersedianya energi listrik di desa ini. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kesegaran ikan hasil tangkapan terlebih jika ikan-ikan tersebut sudah tertangkap beberapa jam.

Nama Lamongupa berasal dari dua suku kata yaitu Laa= sungai/kali (bahasa Wawonii) dan Mongupa= jambu/manggopa. Karena di sekitar wilayah Lamongupa saat itu terdapat kali besar yang hanya ditumbuhi oleh satu tanaman mongupa.

Desa ini merupakan wilayah pesisir pantai yang dihuni oleh sebagian besar para perantau Bugis – Bone. Proses diaspora suku Bugis di desa ini terjadi sekitar tahun 1947. Pada awal kehadirannya di Wawonii, mereka hadir sebagai pedagang menjual gula, beras dan lain-lain.

Karena mereka merasa cocok dan terjalin hubungan baik dengan masyarakat Wawonii pada saat itu, maka mereka memilih tinggal. Oleh kepala distrik Wawonii saat itu, mereka kemudian diberikan izin untuk tinggal di Desa Lamongupa.

Pada tahun 1957, Lamongupa yang masih merupakan salah satu dusun di Desa Lampeapi ditetapkan menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Wawonii yang pada saat itu camat pertama dijabat oleh Bapak Lasikende dan berkembang hingga kini.

Total jumlah penduduk Desa Lamongupa adalah sebanyak 68 KK (Kepala Keluarga), sebagian besar di dominasi oleh suku Bugis – Bone, kemudian Suku Tolaki/Wawonii dan sebagian kecil suku Buton.  Seratus persen warganya beragama Islam.

Keberadaan Desa Lamongupa juga memiliki pertautan sejarah perjalanan pendidikan di Sulawesi Tenggara. Sukardin – tokoh adat  Lamongupa mengaku, bahwa DDI (madrasah ibtidaiyah tempo dulu) pertama di Sulawesi Tenggara berada di desa Lamongupa.

Selanjutnya pada tahun 1997 Desa Lamongupa dimekarkan menjadi sebuah desa. Sampai tahun ini, telah terjadi 3 kali pergantian kepala desa dan kepala desa yang ketiga bernama Abdul Rasyid.

Hak kepemilikan atas tanah di desa ini  ditentukan oleh usaha di atas tanah warisan yang telah berlangsung secara turun temurun. Sayangnya hingg kini belum ada Program Nasional (Prona) sertifikasi lahan di desa ini. Ini juga menjadi kekhawatiran warga menyusul mekarnya wawonii sebagai daerah otonomi baru. Terlebih jika melihat fakta sumber daya alam desa yang konon terdapat potensi sumber daya  mineral di sana.

Informasi yang diperoleh dari beberapa informan, disebutkan bahwa di desa ini terdapat 3 jenis sumber daya mineral, yaitu Chrome, Besi dan Pasir Kuarsa.

Sekitar tahun 2007, bahkan, pihak perusahaan tambang telah melakukan eksplorasi terhadap jenis-jenis sumber daya tersebut. Tetapi oleh masyarakat setempat, aktivitas ini di tolak dan akhirnya berhenti atas desakan masyarakat. (Tulisan: Firman & Heriksan aktifis LSM Komnasdesa-Sultra)

Batumea Jalur Sutra Pertanian Wawonii Tengah

$
0
0
Kopra menjadi salah satu hasil komoditi andalan Pulau Wawonii

KONKEP, SULTRANEWS-Langkah perempuan parubaya itu penuh hati-hati saat melewati jalan licin menanjak. Diujung tanjakan Ia berhenti mengatur napas yang sedari tadi mulai tersengal. Dengan kain sarung yang dipakai di kepala Ia menghapus keringat yang mulai bermunculan di dahinya. Hari itu Sumarni punya tugas berat  mendorong Artco berisi belasan bibit cengkeh. Bersama rekannya, perempuan beranak empat itu harus bolak balik mendorong artco berisi bibit  sejauh dua ratus meter. 

Sumarni mengaku mengambil bibit cengkeh dari lokasi persemaian yang terletak di ujung desa. Areal pembibitan cengkeh tersebut milik salah satu warga setempat. Bibit yang dibeli dengan harga Rp 2000 per pohon sudah disimpan dalam polibag dan selanjutnya akan di tanam di lahan milik mereka.

“Tak hanya bibit cengkeh yang di tanam, ada juga bibit pala dan rambutan,”kata Sumarni, sembari menunjuk lokasi bibit persemaian di desanya. 

Di lahan milik Sumarni setidaknya sudah ada lebih dari seribu pohon cengkeh yang tumbuh. Bahkan sebagian telah berkali-kali dipanen. Cengkeh di tanah selus dua hektar itu adalah warisan orang tuanya dan kini terus dirawatnya. Cengkeh, pala dan jambu mete menjadi komoditi andalan warga desa, terbukti di seluruh lahan warga, kedua komoditi pertanian ini menjadi andalan.  

Sejak lama Desa Batumea yang berpenduduk kurang lebih 160 KK ini sudah mengenal pola pertanian. Bagi penduduk desa dari generasi ke generasi, hasil perkebunan adalah tempat bergantung, penyokong berbagai sendi kehidupan. sebagian besar masyarakat yang tergantung dari perkebunan menggabungkan kegiatan berladang dan berkebun dengan memancing ikan di laut dan mengumpulkan berbagai jenis produk hasil pertanian.

Meski posisi desa berada di dekat laut namun  tanah desa cukup subur untuk lahan pertanian. Terbukti tanaman yang tumbuh cukup bervariasi, diantaranya, komoditi jambu mete, cengkeh, pala, kelapa. Selain itu tumbuh subur aneka pohon buah-buahan, antara lain; pisang, rambutan, langsat dan kedondong.   Setiap warga memiliki perkebunan cengkeh dan jambu mete sendiri yang luasnya bervariasi, antara 1-3 Hektar.

Masyarakat petani umumnya mengelola dan memanfaatkan hasil alam  sesuai kebutuhan. Ada kelompok masyarakat yang menggunakannya untuk keperluan subsisten, dikonsumsi sendiri. Masyarakat yang tinggal di wawonii tengah misalnya, memanfaatkan laut mereka sebagai sumber protein untuk kebutuhan sehari-hari, sekaligus dijual. Begitu pula memanfaatkan hasil bumi sebagai kebutuhan pangan sekaligus di jual untuk kelangsungan hidup dalam jangka panjang.

Jalur Perdagangan

Menjangkau Desa Batumea tidaklah susah, karena sarana transportasi kapal setiap hari beroperasi secara teratur, baik yang akan ke kota kendari maupun yang akan ke desa batumea. Pelabuhan rakyat yang berada di wilayah administrasi Desa Puuwulu  menjadi lokasi persinggahan warga yang hendak ke berbagai desa di wilayah Lampeapi, termasuk ke Desa Batumea.

Sejak dulu, perairan laut wawonii tengah tepatnya di Desa Batumea merupakan jalur strategis untuk pelayaran, baik ke Kota Kendari, Konawe Selatan, Buton Utara  dan Baubau. Tak heran jika perairan wawonii tengah setiap hari dilalui kapal berbagai ukuran. Posisinya yang strategis dengan sendirinya ikut memudahkan distribusi hasil bumi dari pelosok pedesaan pulau wawonii ke berbagai daerah seperti Kendari.  Posisi yang strategis ini membuat Desa Batumea menjadi jalur sutra ekonomi di wawonii tengah.

Secara adminstratif, Desa Batumea masuk dalam wilayah Kecamatan Wawoii Tengah dan lokasinya berada di pinggir pantai, yang lokasinya berhadapan  langsung dengan tanjung Peropa, Kabupaten Konawe Selatan.  Tak heran banyak warga Batumea melakukan perdagangan antar pulau dan membawa hasil bumi mereka melalui jalur laut selanjutnya melalui darat menuju Kecamatan Moramo dan Kabupaten Buton Utara.

Problem Desa

Dari hasil asessmen LSM Komnasdesa-Sultra Tahun 2012,  diperoleh  informasi jika kebutuhan paling diharapkan warga adalah kebutuhan sarana telekomunikasi, dengan alasan untuk komunikasi dan dapat mengetahui harga pasar pertanian. Begitu pula memasyarakaat membutuhkan kejelasan status tanah dan berkeinginan memiliki sertifikat lahan.

Nelayan hanya ada dua orang di desa Batumea. Itu pun hanya terbatas sebagai nelayan musiman, nelayan yang hanya memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Padahal hasil ikan perairan wawonii sangat  melimpah.
Jarak antara desa Batumea dengan Desa Langara Iwawo yang menjadi ibukota kabupaten Konkep sejauh 12 KM, dengan jarak tempuh menggunakan kendaraan sekitar  20 menit. Akses jalan cukup lancar dan bisa  dilalui roda dua maupun roda empat dengan kondisi jalan baru berupa perkerasan.

Berkah dari pemekaran dan masuknya berbagai program pembangunan pedesaan (PNPM Mandiri) telah dirasakan manfaatnya oleh warga, dimana Pemerintah kabupaten telah membuka akses jalan lingkar yang menghubungkan antara wilayah pedesaan. Begitu pula kebutuhan akan air sudah tersedia melalui air PAM milik desa. Meski begitu sebagian besar warga masih mengandalkan air sumur (sumur tanah).Warga juga sudah menikmati sarana listrik selama 12 jam (pukul 06 sore- 06 pagi) serta bahan bakar gas elpiji.  Begitu juga, warga Batuamea juga sudah menikmati siaran televise dan telepon seluler (telkomsel, XL dan Mentari). YOS

Bisnis Rental Mobil Rentan Kecurian

$
0
0
Ilustrasi

KENDARI, SULTRANEWS-Bisnis rental mobil berapa tahun belakangan terus menjamur di Kota Kendari, seiring itu pula kejahatan terorganisir terus membayangi para pebisnisnya. Tak sedikit dari pemilik usaha rental harus gigit jari akibat mobil mereka dibawa kabur para pelaku kejahatan.

Modusnya pun beragam rupa, ada yang disewa tanpa dibayar hingga yang dibawa kabur alias dirampok. Bahkan, yang terbaru para pelaku yang berpura-pura menyewa lalu menggadaikan mobil rentalan tersebut.

“Bisnis rental penuh resiko dan terkadang kita harus berbenturan dengan para pelaku kejahatan,”kata Wawan, salah satu pemilik usaha rental di bilangan Wua-wua Kendari.

Wawan mengaku beberapa kali mengalami kerugian akibat ditipu para perental abal-abal. “Pernah seseorang merental sampai sebulan, belakangan uang sewa rental tak dibayarkan dan setelah dilacak mobil ternyata telah digadaikan ke orang lain,”ungkap Wawan.

Sulitnya melacak keberadaan pelaku serta makin rapinya aksi pelaku membuat pemilik harus meminta bantuan pihak berwajib untuk melacak keberadaan mobil. “Ya, kita terpaksa meminta bantuan petugas mencari kendaraan yang dibawa kabur,”katanya.

Rentannya kejahatan memayungi bisnis rental memang bukan isapan jempol semata. Terbukti, Senin siang, aparat Polresta Kendari berhasil membongkar jaringan penggelapan mobil antar kabupaten. Tak tanggung-tanggung polisi mengamankan 5 unit mobil berbagai merek serta menciduk sejumlah orang yang diduga sebagai pelaku.

Informasi yang diperoleh media, lima unit mobil disita tersebut berada di wilayah Kabupaten Muna. "Seluruh kendaraaan diamankan  di Muna,"kata sumber di kepolisian resor Kendari.

Polisi sudah mengintai sejak lama aktifitas penggelapan mobil, seiring banyaknya laporan berbagai pihak yang mengaku kehilangan kendaraan mereka, terutama dari para pengusaha rental mobil. Namun polisi belum au memberikan informasi detil lokasi penggerebekan dengan alasan masih mengejar beberapa orang terkait kasus tersebut.YN

Matinya Pertanian di Ladianta Pulau Wawonii

$
0
0
Pulau wawonii. foto: KAMPOENG PETA/Aries Nobi 


KONKEP, SULTRANEWS-Belukar tumbuh subur di hamparan tanah, tak jauh  dari sungai Ladianta. Beberapa pohon kayu keras tubuh di sana. Dalam hitungan tahun kawasan tersebut segera menjadi hutan alam. Tak ada yang mengetahui jika 10 tahun silam tempat ini pernah menjadi lumbung beras bagi desa Ladianta. Ketika itu, petani tidak menanam padi biasa, melainkan padi kualitas baik yang menghasil  beras merah.  Petani cukup sejahtera, beras surplus hingga dipasik ke daerah-daerah sekitar.

Tapi itu dulu. Saat petani aktif  mengolah sawah tadah hujan (padi lading) di areal sekitar 350 hektar. Karena potensinya, Pemerintah Provinsi Sultra yang kala itu masih dipimpin Ali Mazi menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk membangun bendungan irigasi. Bantuan pemerintah Ali Mazi tentu disambut gembira oleh petani kala itu. Setidaknya, dibenak para petani telah tergambar, dengan dibangunnya bendungan irigasi, maka sawah akan mendapat pasokan air yang cukup  dan mengakhiri praktik persawahan tadah hujan. Selain  itu kehadiran irigasi diharapkan akan menambah luas areal sawah baru.  

Pemerintah bahkan telah dua kali berniat merubah ladang petani menjadi areal persawahan dengan membangun satu unit bendungan yang memanfaatkan aliran sungai Laawawonii dan sungai Ladianta.Terakhir pemerintah provinsi Sultrabekerjasama dengan pemerintahan Kabupaten Konawe telah merekonstruksi kembali ladang yang jadi kebanggaan petani Ladianta saat itu.

Namun siapa sangka, harapan petani akan hadirnya irigasi  justeru berubah jadi petaka. Proyek irigasi inilah yang kemudian ‘membunuh’ kehidupan petani Ladianta hingga kini. 

Hasil penelusuran anggota LSM Komnasdesa_Sultra ditemukan bahwa, pembangunan proyek irigasi bernilai miliaran rupiah ini diduga menyalahi bestek, karena posisinya yang lebih rendah dari areal persawahan.  “Bagaimana sawah bisa dialiri, kalau bangunan irigasi lebih rendah dari persawahan,”ujar Nunu, warga Ladianta. Sebelum ada irigasi, petani masih dapat memanfaatkan suplai air dari dari langit alias tadah hujan.

Saat itu warga sempat mengajukan protes, namun tidak didengar. “Saat anggota dewan reses, kami sempat  sampaikan masalah ini, saat itu aspirasi ditampung dan mereka berjanji akan perjuangkan, tapi janji mereka tidak kunjung ada kejelasan hingga kini,”kata Nunu, sedikit kesal.   

Kendati menghabiskaan dana negara tapi aparat penegak hokum urung mengusutnya. 

Petani Ladianta sempat berusaha bangkit dengan kembali menerapkan system pertanian tadah hujan. Namun upaya petani tak bertahan lama, akibat kondisi anomaly cuaca.  Termasuk mencoba peruntungaan dengan menanam tanaman palawija.

Seperti diungkapkan Patah, warga Ladianta, yang juga pernah menjadi petani ladang ini,  menambahkan,bahwa, dulu setelah musim panen padi berakhir, masyarakat juga sempat menanam tanaman polong-polongan seperti kacang hijau. “Saat itu cukup berhasil, pemasarannya pun sampai ke beberapa daerah di kabupaten Buton terutama di Pulau Binongko,”ungkapnya. Kini kembali bergelut sebagai petani kebun dan merawat tanaman mereka seperti  jambu mete, pala, cengkeh dan kakao.

Perawatan yang intensif akan komoditas-komoditas baru ini menjadikan masyarakat di wilayah ini mulai meninggalkan areal padi mereka. Perawatan jambu mete misalnya, jelang masa panen para petani dituntut untuk melakukan pembersihan lahan terutama disekitar tumbuhnya komoditas tersebut. Hal ini selain untuk merangsang proses pembuahan, tindakan ini juga dilakukan untuk menggampangkan proses pemungutan buah yang jatuh ke tanah. Tindakan ini juga cukup menyita waktu yang sangat besar.

Hal-hal inilah yang kemudian disinyalir sebagai penyebab mengapa petani mulai meniggalkan padi. Disamping itu, harga jual komoditas baru tersebut tergolong cukup menjanjikan dibandingkan harga beras.

Sejak saat itu profesi masyarakat mulai berubah, yang tadinya mereka juga adalah petani padi ladang, spontan berubah dan lebih focus menggeluti profesi sebagai petani jambu mete, cengkeh, pala dan kakao yang sudah duluan ada. Bahkan sebagian dari mereka telah menjadi pengumpul-pengumpul lokal. Pasaran untuk komoditas-komoditas ini pun sudah lakukan di Kota Kendari, bekerjasama dengan para pemilik kapal  dengan sistem penyewaan yang serupa dengan desa-desa lain di Pulau Wawonii.

Kini nasib sawah Ladianta terbengkalai dan tidak lagi dapat diolah. Begitu pula nasib bendungan irigasi yang terletak di hulu sungai Ladianta kondisinya dalam kondisi kering kerontang dan sebagian bangunan sudah hancur. Yang lebih miris, akibat ulah kontraktor yang membangun irigasi  tanpa prosedur telah ikut mematikan nasib sekitar dua ratusan petani di sana.

Sejarah Ladianta

Membahas soal Ladianta, sama halnya mengupas sejarah peradaban silam pulau Wawonii. Walau telah berubah status menjadi kelurahan, desa yang dahulu bernama Ladianta telah berperan menjadi gerbang masuknya berbagai budaya dari daerah-daerah di luar pulau Wawonii. Posisinya yang sangat strategis berhadapan dengan laut Banda, menjadikan wilayah ini sebagai tempat persinggahan beberapa petualangan dari daerah lain seperti Buton, Bungku dan Tolaki.

Disisi lain, ketersediaan suplai air sungai yang mengalir jatuh dari pegunungan Waworete semakin mempertinggi tingkat kesuburan hamparan-hamparan tanah di wilayah ini. Bagaimana tidak, adanya dua aliran sungai besar di daerah ini telah memberikan ke-berlimpahan hasil bumi bagi masyarakat sekitarnya. Sehingga manusia-manusia yang dahulu hadir pertama kali di Wawonii, memilih Ladianta sebagai daerah hunian yang cocok dan menjanjikan. Kedua sungai tersebut adalah sungai Laawawoniidan sungai Ladianta yang hingga kini masih berkontribusi besar terhadap kelangsungan hiidup orang-orang di Desa Ladianta (sekarang Kelurahan Ladianta) dan desa-desa sekitar.

Pak Patah (70 tahun) – tokoh adat – menjelaskan bahwa Ladianta adalah pusat peradaban Wawonii. Tempat lahirnya situs kerajaan Wawonii. Pada awal berdirinya, wilayah Ladianta merupakan induk dari desa-desa lain – kini sudah berdiri sendiri, yaitu: desa Dimba, Mata Dimba, Puurau, Patande, Noko, Tangkombuno, Bahobubu, Watu Ondo dan desa Bangun Mekar.

Sebagai desa yang terbentuk atas beragam peristiwa sejarah, penemaannya pun lahir atas nama sejarah. Kata “Ladianta” berasal dari kata “Ladi”, dalam bahasa lokal Wawonii berarti “Keris” dan “Anta” berarti pohon (sumber lain mengatakan bahwa “antaberarti tungku – wawancara dengan warga Langara atas nama Bisman di atas kapal dalam perjalanan dari Kendari menuju Langara).

Penamaan daerah ini sebagai desa ladi atau keris bukan tanpa alasan. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, kerislah – yang tertanam di bawah tungku -  yang menjadi fakta penegas kemenangan orang Buton dalam perseteruan politik dengan orang Bungku perihal siapa yang pertama kali menemukan dan memasuki pulau Wawonii. Sehingga secara istilah, Ladianta merupakan sebuah daerah dibenamkannya keris sebagai pembenaran atas klaim bahwa orang Buton-lah yang lebih dahulu menemukan Wawonii. Ladianta adalah lokasi yang dahulu menjadi tempat berlangsungnya perselisihan dengan orang Bungku.

Ditelusur lebih jauh tentang siapa orang-orang yang berseteru tersebut, Samsudin – Tokoh Adat Lebo – menyebutkan bahwa orang Bungku yang dimaksud bernama Pasoro sedangkan orang Buton bernama La Saumala(anggota rombongan Haji Pada – salah satu petinggi di Kesultanan Buton). Pasoro datang ke Pulau Wawonii setelah mengamati dari seberang (Pulau Minui) bahwa ada sebuah pulau di sebelah Selatan Pulau Minui yang hanya ditumbuhi oleh beberapa pohon kelapa. Sementara La Saumala mengetahui adanya Pulau Wawonii, dalam pelayarannya menuju Ternate bersama rombongan Haji Pada.

Dikisahkan oleh Samsudin bahwa dalam pelayarannya ke Ternate, La Saumala memilih mampir ke Wawonii dan berpisah dari rombongan lain sekaligus menghindari kondisi cuaca yang tidak stabil pada saat itu. Beliau pertama kali melabuhkan perahunya di daerah Bobolio (Wawonii Selatan). Konon kata Bobolio sendiri berasal dari ucapan La Saumala ketika pertama kali menancapkan tonggak kayu yang berfungsi sebagai sauh tempat mengikat tali perahunya. Beliau berkata “Boli”(Bahasa Wolio: berarti jangan), kurang lebih maksudnya adalah jangan ada yang mencabut tonggak labuhan perahunya.

Dari Bobolio, La Saumala berjalan menyusuri pesisir dan akhirnya tibalah di daerah Ladianta. Setibanya di Ladianta, La Saumala menemukan tungku bekas tempat memasak Pasoro yang juga telah hadir di daerah ini. Melihat fenomena ini, La Saumala langsung membenamkan keris di bawah tungku bekas tempat masak tersebut. Singkat cerita, inilah yang kemudian menjadikan sengketa antara Pasoro dan La Saumala. Sehingga sampai hari ini, nama wilayah ini disebut sebagai “Ladianta”.

Masih menurut Samsudin, jauh setelah kejadian tersebut hadir pula petualang suku Tolaki bernama Latomau dari daerah Besulutu (Kab. Konawe). Dalam perjalannya ke Wawonii, beliau melewati daerah Langkaroni (Buton Utara) menuju Desa Kekea (Wawonii Tenggara). Karena kondisi alam Kekea yang tandus, memaksa Latomau mencari daerah subur sebagai hunian yang cocok. Maka ia memilih menyusuri hutan melewati Lembono (Lebo Raya) dan menetap tinggal di belantara hutan Ladianta.

Bahkan pada decade-dekade terakhir, Ladianta masih menjadi daerah persebaran etnis-etnis lokal. Sebagaimana dijelaskan oleh Samsudin bahwa sebagian besar penduduk di Ladianta adalah orang-orang Palingi (Wawonii Utara) yang memilih menghindar dari desa asalnya karena tingginya suhu politik pada masa itu.

Atas beragam peristiwa ini, menjadikan nama Ladianta cukup berpengaruh di zamannya. Ladianta dijadikan sebagai induk dari desa-desa yang lain. Kini hampir genap 2 tahun, Ladianta telah berubah status menjadi kelurahan dan masuk dalam wilayah Kecamatan Wawonii Timur Laut. Kecamatan ke tujuh (terakhir kali terbentuk) yang dibentuk pada saat menjadi bagian dari Kabupaten Konawe. Etnisnya pun masih didominasi oleh etnis lokal, sebagian adalah etnis Buton yang sudah sangat lama berketurunan di sini.

Oleh pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan, Takwinditunjuk sebagai pelaksana lurah Ladianta sampai sekarang, membawahi kurang lebih 100 kepala keluarga, yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada sector pertanian.

Menurut Patah – tokoh adat- bahwa sejak dahulu wilayah ini tidak pernah mengalami kekurangan pangan. Hampir sebagian besar masyarakatnya memiliki ketersediaan pangan yang cukup. Berkat pertanian, banyak dari generasi Ladianta mampu menempuh pendidikan sampai ke jenjang tinggi. Sehingga banyak dari mereka saat ini menempati pososi-posisi birokrasi baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat provinsi Sultra.

Masih menurut Patah, dahulu komoditas unggulan di wilayah ini adalah kelapa (kopra). Sejak akhir tahun 1950 sampai akhir tahun 1980-an, beliau dan sebagian orang-orang di desa ini telah menjual kopranya hingga ke pasar Surabaya. Bermodalkan perahu layar milik pelaut-pelaut Batu Atas (Buton), mereka berangkat ke Surabaya menempuh waktu 3 – 4 minggu.

Hampir tiap tahun pada masa itu, mereka bolak balik sebanyak 3 kali memuat kopra dengan kapasitas rata-rata 2 sampai 5 ton sekali jalan. Ketika masuknya pemberontak DI/TII di Wawonii, para pedagang kopra memilih jalur aman menuju Wanci (Wakatobi) sebelum bertolak ke Tanjung Perak Surabaya.

Dijelaskan pula oleh Patah – pedagang kopra saat itu – bahwa “toke” atau bos mereka pada saat itu bernama Tanjung (orang Batu Atas), seorang bekas pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan hanya Surabaya, mereka pun pernah memasarkan kopranya sampai ke Pasuruan, Gresik,Banyuwangi dan terakhir adalah Jakarta ketika kapal Pelni (KM. Rinjani) sudah mulai beroperasi di Sultra.

Berkat hasil penjualan kopra, mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya dan mampu membiayai perongkosan haji kedua orang tua mereka. Diceritakan oleh pak Patah bahwa ada sekitar 50 orang jamah haji asal Ladianta yang berangkat dan dibiayai dari hasil penjualan kopra (tahun 1970 – 1980-an). (Firman-Erik- Yos - Imanche Al Rachman) 

Dana Desa Segera Cair, Kades Dihimbau Taat Aturan

$
0
0
KENDARI, SULTRANEWS-Kabar gembira bagi para kepala desa di seluruh Indonesia menyusul akan segera dicairkanya dana desa ke rekening masing-masing desa yang nilainya mencapai Rp 1 miliar. Kendati demikian banyak pihak mewanti-wanti agar kepala desa taat asas dan menjalankan amanah pembangunan desa sesuai aturan yang berlaku.

 "Kita semua tau terkait penyaluran dana desa maka semua kades sebaiknya terlebih dahulu mempelajari dan sasaran penggunaan dana desa tersebut, agar nantinya saat dana desa sampai ke rekening, para kades dan aparatnya dapat mengelola dan memanfaatkan dana yang bersumber dari APBN tersebut,"kata Umar Arsal, Anggota DPR RI asal Sultra sebagaimana dikutip dari Harian Rakyat Sultra edisi Rabu 1 April 2015.

Menurutnya, penyaluran dana desa yang diberikan secara bertahap dimulai pada bulan April 2015 ini dengan jumlah yang bervariasi berdasarkan jumlah penduduk dan tingginya angka kemiskinan di sebuah desa. 

"Jadi dalam penyaluran nanti jumlah dana yang diterima tidak akan sama, bervariasi antara 600 juta rupiah dan 8
00 juta rupiah per desa,"ujarnya. (Rakyat Sultra)

Oknum Polisi Diduga Jadi Penadah Mobil Hasil Penggelapan

$
0
0
Ilustrasi

KENDARI, SULTRANEWS-Seorang oknum polisi di Kabupaten Muna diduga menjadi penadah mobil hasil kejahatan penipuan dan penggelapan.

Bripka Mu pun diringkus polisi di kediamannya di Raha dan dari aksinya tersebut aparat kepolisian berhasil mengamankan 5 unit kendaraan roda empat berbagai jenis. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya oknum polisi tersebut dibawa ke Polres Kendari.

  Di kepolisian Bripka Mu menjabat sebagai Kepala Unit Reskrim Polsek Lawa. Selain Bripka Mu, seorang anggota polisi lainnya berinisial Yu juga diamankan atas kejahatan yang sama. 

Menurut polisi tertangkapnya dua oknum polisi ini merupakan pengembangan dari kasus yang sama yang menjerat dua orang di Kendari. Peran ke dua polisi diduga sebagai penadah hasil kejahatan dan mobil yang digelapkan tersebut kemudian dijual lagi ke masyarakat di Muna. Yos

LSM Komnasdesa_Sultra Gelar Studi Ruang Wilayah Wawonii

$
0
0
Imanche Al Rachman, Direktur Komnasdesa-Sultra
KONKEP, SULTRANEWS- Mekarnya wawonii sebagai kabupaten baru  memiliki konsekuensi terhadap ruang. Pemenuhan ruang untuk pembangunan dan investasi dikuatirkan akan membatasi orang wawonii yang mayoritas sebagai petani mengakses tanah mereka sendiri. Apalagi, kebijakan politik-ekonomi yang bernuansa “pintu-terbuka” oleh pemerintahan orde baru masih kerap dipraktekkan pemerintahan di masa kini, menyebabkan merebaknya konflik agraria di tanah air dalam bentuk dan manifesnya yang beragam.

Melihat kondisi itu, LSM Komnasdesa-Sultra, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di advokasi dan pemberdayaan  masyarakat pesisir dan pedalaman  berinisiatif menggelar kegiatan studi ruang wilayah berpenduduk kurang lebih 29.971  jiwa tersebut..

"Sebenarnya  studi sudah dilakukan LSM Komnasdesa-Sultra sejak tahun 2008 silam. Studi yang kami lakukan  meliputi,  sejarah , kultur masyarakat, potensi SDA dan potensi ruang konflik di wawonii. Studi ini sangat penting mengingat bagi orang wawonii, tanah dan isinya merupakan ruang ekspresi kultural mereka. Hal ini nampak dari berbagai praktek kebudayaan dan adat istiadat orang wawonii. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar mereka hidup dalam sistem pertanian yang tradisional dengan menggunakan tanah leluhur,"jelas Imanche Al Rachman, Direktur LSM Komnasedesa-Sultra pada wartawan di Kendari.
.
Salah satu arti yang sangat penting bagi orang wawonii, lanjut Imanche Al Rachman adalah menjadikan tanah sebagai tempat bercocok tanam, seperti berladang dan menanam tanaman jangka panjang (berkebun). Berladang sebagai prananta pengelolaan tanah yang paling utama dalam masyarakat wawonii disamping pranata-pranata pengelolaan lainnya. Karena itulah berladang menjadi penopang kehidupan ekonomi yang utama bagi orang wawonii. Data Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara mencatat lebih dari 80 persen petani wawonii menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian.

Pentingnya melakukan studi ruang di Pulau Wawonii juga karena melihat daya dukung pulau, ancaman masa depan ekologi di pulau wawonii sangat besar pasca daerah itu menjadi daerah otonomi baru. Pembangunan infrastruktur memberi konsekwensi besar pada kebutuhan ruang, di tambah dengan dibukanya kran investasi, disamping investasi yang telah lebih dulu diprakarsi  oleh pemerintah induk (kabupaten konawe).

Kebutuhan  ruang untuk kebutuhan pembangunan, lanjut Imanche Al Rachman, menjadi persoalan besar di Wawonii kini, yang ujung-ujungnya mengorbankan warga. Potret inilah yang menimpa warga nelayan di Desa Langara Pantai.  Dari informasi yang diperoleh, Kampung yang telah berdiri sejak tahun 1960-an dan menampung kurang lebih 120 KK rencananya akan direlokasi ke Desa Tumbu-Tumbu Jaya , Kecamatan Wawonii Tengah. Sebuah kondisi yang tidak menguntung bagi warga nelayan yang sudah berpuluh tahun hidup di komunitas nelayan.

Rencananya, hasil dari kegiatan studi ruang tersebut akan ditindaklanjuti dengan menggelar workshop yang akan mengundang para pemangku kepentingan di Kabupaten Konawe Kepulauan, seperti pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, kalangan swasta, mahasiswa, LSM untuk duduk bersama memikirkan masa depan Wawonii.  YOS

Malam Ini Gerhana "Bulan Darah" Terjadi

$
0
0
SULTRANEWS-Berdasarkan pantauan dan perkiraan satelit citra milik Badan Meteorologi, Klimatologi, Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga, gerhana bulan total atau blood moon akan terjadi secara serentak di belahan bumi, termasuk wilayah Indonesia, pada Sabtu, 4 April 2015.

Gerhana ini merupakan fase total dengan sebagian cahaya matahari pada panjang gelombang merah akan dibiaskan atmosfer bumi hingga ke bulan. "Makanya bulan akan terlihat merah seperti darah. Karena itu, saat fase total, bulan tidaklah gelap, namun berwarna kemerahan," kata Kepala Stasiun Klimatologi Dramaga, Dedi Sucahyono, Sabtu, 4 April 2015.

Dia mengatakan gerhana total yang terjadi pada 4 April dapat diamati dan disaksikan secara kasat mata dari wilayah Indonesia. "Gerhana ini dapat diamati juga dari Amerika, Samudra Pasifik, Australia, Asia kecuali bagian barat, dan sebagian kecil Afrika Timur," ujarnya.

Bahkan, dia mengungkapkan, semua proses gerhana bulan bisa diamati dari wilayah Papua bagian timur, mengingat bulan sudah terbit sebelum fase gerhana mulai terjadi. Bagi pengamat di daerah Papua bagian barat, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan sebagian Kalimantan bagian timur, akan mendapati bulan dalam fase gerhana Penumbra saat bulan terbit.

Untuk pengamat dan masyarakat yang berada di Kalimantan Timur bagian barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Bali, Jawa, dan Sumatra akan mengamati bulan dalam fase gerhana sebagian saat bulan terbit. "Pada waktu-waktu berikutnya, semua pengamat bisa mengamati fase-fase gerhana hingga fase gerhana berakhir," tuturnya.

Namun kondisi cuaca di wilayah Bogor dan sekitarnya, yang diprediksi akan diguyur hujan, dapat sedikit menghambat masyarakat untuk menyaksikan gerhana bulan merah darah ini. "Tapi masyarakat masih bisa memantau menggunakan teropong," katanya.

Berikut ini fase gerhana bulan total yang akan terjadi pada Sabtu, 4 April 2015.

Untuk masyarakat di belahan timur atau waktu Indonesia timur:
19.15 = awal gerhana bulan sebagian
20.54 = awal gerhana bulan total
21.00 = puncak gerhana bulan total
21.06 = akhir gerhana bulan total
22.45 = kontak akhir gerhana bulan sebagian

Untuk masyarakat dengan waktu Indonesia tengah:
18.15 = awal gerhana bulan sebagian
19.54 = awal gerhana bulan total
20.00 = puncak gerhana bulan total
20.06 = akhir gerhana bulan total
21.45 = kontak akhir gerhana bulan sebagian

Dan masyarakat dengan waktu Indonesia barat:
17.15 = awal gerhana bulan sebagian*)
18.54 = awal gerhana bulan total
19.00 = puncak gerhana bulan total
19.06 = akhir gerhana bulan total
20.45 = kontak akhir gerhana bulan sebagian

Catatan:
*)Bulan belum terbit untuk wilayah Indonesia barat saat kontak awal gerhana bulan sebagian, dan akan terbit sekitar pukul 18.00 WIB di ufuk timur.

Sumber: tempo.co

Soal Kasus Dugaan Korupsi Gubernur Sultra Mahasiswa Protes Kejaksaan

$
0
0

KENDARI, SULTRANEWS-Ratusan mahasiswa menggelar unjukrasa di kantor kejaksaan tinggi sulawesi tenggara, menuntut penanganan kasus tindak pidana pencucian uang  yang diduga dilakukan oleh gubernur sulawesi tenggara, nur alam.

Dalam aksi yang berlangsung damai ini, mahasiswa mengecam Kejaksaan Agung, karena dinilai tidak serius dalam manangani perkara yang sudah bergulir sejak tahun 2012 lalu.

 “Tindak pidana pencucian uang us$ 4,5 juta yang hari ini telah ditemukan faktanya bahwa uang us$ 4,5 juta tersebut berasal dari perusahaan tambang rich corp internasional yang berada di hongkong,”urai mahasiswa

Menurut mahasiswa, agar kasus ini tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan / kejagung mestinya bersikap transparan. Dan, jika tidak terbukti, maka segera diputuskan begitu juga sebaliknya jika terbukti hendaknya segera ditetapkan sebagai tersangka.

 “Proses penanganan kasus ini yang menangani adalah kejaksaan agung. kita tau bersama prosesnya masih sementara berjalan dan untuk sementara kalau adek-adik ingin menghendaki informasi lebih lanjut silahkan menggunakan forum media  PPID,”kata Tajuddin, Humas Kejati Sultra.

Seperti diketahui, kasus ini bergulir sejak tahun 2012 lalu ketika ppatk menemukan aliran dana sebesar 4,5 juta dollar amerika yang masuk ke rekening Nur Alam.

Aliran dana tersebut diduga berasal dari sebuah perusahaan tambang asing bernama rich corp internasional yang berbasis di Hongkong.

Dana tersebut diduga sebagai upaya untuk memuluskan izin perusahaan tersebut untuk mengelola tambang nikel di sulawesi tenggara.

Sayangnya, sejak dilaporkan oleh PPATK ke kejaksaan agung, kasus tersebut tidak pernah diketahui lagi perkembangannya. NAL

Polisi Gelar Budaya Tertib Berlalulintas

$
0
0


BOMBANA, SULTRANEWS - Satuan Lalulitas (Satlantas) Polres Kabupaten Bombana, mengajak masyarakat agar tertib dalam berlalulintas itu, dijadikan suatu budaya atau kebutuhan rutin dalam berkendaraan.

Himbauan ini di sampaikan langsung Kepala Satuan Lalulitas Polres Bombana Iptu Muhamad Yani Endang
Kepada para pengendara baik roda dua maupun empat dalam agenda operasi Simpantik 2015 di wilayah Rumbia Ibukota Bombana.

Yani mengatakan tertib berlalulintas
merupakan salah satu solusi guna menekan tingginya angka kecelakaan dalam berkendaraan di jalan raya.
Kesadaran masyarakat menjadi tujuan utama Satlantas menggelar operasi Simpatik secara serentak di wilayah Bombana.

Sedikitnya, ada empat titik jadi target operasi di wilayah Bombana. Diantaranya wilayah Poleang, Poleang Timur, Rumbia hingga Pulau Kabaena. Digelar sejak 1 April lalu, hingga 21 April Kedepan.

Operasi simpatik, sambung Yani bersifat himbauan atau sosialisasi bagi masyarakat dalam berkendaraan dijalan umum. Dilakukan dengan tidak mengedepankan sikap refresif atau penindakan.

"Sesuai undang-undang Lalu Lintas, harusnya yang melanggar itu dihukum tilang. Namun di masa operasi simpatik ini berlangsung, kami cukup tegur dan himbau. Kecuali sudah fatal sekali, baru ada penindakan," tegas Yani.

Cara-cara simpatik ini diterapkan guna menggugah kesadaran masyarakat dalam membangun atau menciptakan budaya tertib berlalulintas.  Operasi Simpatik yang digelar satlantas Bombana ini, selain sosialisasi di Jalan raya, kata Yani akan bergerak pula ke sekolah-sekolah, pangkalan ojek, terminal hingga tempat umum lainnya. (DAR)


Beredar, Beras Bulog Tidak Layak Konsumsi di Bombana

$
0
0

Aksi warga memprotes kualitas beras untuk warga miskin. foto: BADAR/SULTRANEWS
BOMBANA, SULTRANEWS-Kualitas beras miskin (Raskin) yang disalurkan bagi warga miskin di Kabupaten Bombana mulai disorot masyarakat.

Penyaluran Beras bulog berisi 15 Kg itu, diprotes akibat kualitasnya dinilai tidak layak konsumsi. Diduga beras yang dibagi ke masyarakat merupakan beras lama, yang sudah berwarna agak kekuning-kuningan. Karena tidak terima puluhan warga Kecamatan Mata Oleo Kabupaten Bombana mendatangi Kantor Bupati Bombana.  Warga memprotes sebab banyak masyarakat di Kecamatan ini mendapat beras yang tidak layak dikonsumsi.

Bukan cuma itu, penyaluran beras bagi warga tidak mampu ini, telah disalahgunakan oleh oknum aparat desa. Penerima dibebankan sejumlah biaya tertentu. "Berasnya sudah tidak layak di konsumsi, ada pula permainan dengan memberlakukan pungutan -pungutan tertentu. Ini pelanggaran dan harus ditindak ," kesal Jasman warga Kecamatan Mataoleo.

Sedikitnya ada tiga Desa yakni Desa Lora, Desa Tajuncu dan Desa Pulau Tambako, Kata Jasman diduga melakukan pungutan tertentu. "Harga Raskin itu diputuskan, RP. 24 Ribu per karung. Namun oleh oknum aparat desa, menaikan harga hingga Rp. 30 ribu per karung. Beban biaya ini, jelas merugikan bagi masyarakat miskin," tukas Jasman.

Apa lagi, penyaluran beras raskin ini telah disepakati ditingkat Kabupaten Bombana, bahwa tidak  ada lagi biaya pemotongan. Segalah biaya akibat penyaluran, akan ditanggulangi oleh pemkab Bombana. "Kesepakatannya itu tanggal 24 Maret lalu. Anehnya, belum lama disepakati, tapi bentuk prakteknya ko' cepat berubah. Pemkab harus sikapi persoalan ini bahwa ada permainan aparat di tingkat bawah," protes Jasman.

Unjuk rasa yang digelar di
depan Kantor Bupati Bombana ini diterima langsung oleh Djalaluddin, Asisten I Pemkab Bombana. Kata Djalaluddin, tindakan memungut biaya itu, jelas melanggar. "Silahkan adik-adik lapor ke polisi. tindakan oknum aparat desa itu, sudah salah dan melanggar," tegasnya.

Djalaluddin membenarkan jika biaya penyaluran Raskin di Bombana tidak diperbolehkan lagi memungut biaya di masyarakat. Sebab pemkab sudah menanggulanginya, sesuai dengan  kesepakatan dengan Pihak Bulog Bombana.

Terpisah, Kepala Bulog Bombana  Andi Nurhayati mengaku tidak tahu menahu terkait adanya pengutan dilapangan. "Kami cuma penyedia beras dan penyalur. Jika ada pungutan itu, bukan kewenangan kami, itu internal pihak aparat desa dengan penerima," jelasnya.

Terkait adanya penyaluran beras tidak layak konsumsi, Kata Nurhayati, pihaknya akan lekas mengganti. "Jelas Kami akan ganti. Sebab, jujur kami tidak tahu bila terdapat beras yang tidak layak konsumsi itu di kecamatan Mata oleo," ujarnya.

Diakui, sekitar 11. 149 Karung ukuran 15 kg disalurkan ke warga Kecamatan Mata Oleo setiap triwulannya. Dari jumlah beras itu, hanya 5 persen dari total itu yang selalu di cek kualitasnya sebelum disalurkan dari gudang ke warga. "Memang ada pengecekan kualitas beras. Akibat banyaknya beras yang ingin disalurkan dari gudang ke warga, kami gunakan sistem random, cuma 5 persen dari total. Tapi dengan kejadian ini, kami akan lebih selektif lagi," terangnya. (DAR)

Pria Bertato Ditemukan Tewas di Kamar Kos

$
0
0
Ilustrasi

KENDARI, SULTRANEWS-Seorang pria bertato di lengan kanan ditemukan meninggal dunia di kamar kos di Jalan Nusa Inda, Kelurahan Lahundape, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Kamis (23/4) pagi. Saat ditemukan, korban bernama Roys (30 tahun) dalam posisi tengah duduk di lantai dengan kepala posisi tersandar di sofa ruang tamu.

"Saya temukan pagi sekitar pukul 4, dia sudah tidak bernyawa dalam posisi duduk,"kata Ani,teman wanita korban, saat dimintai keterangan oleh polisi di tempat kejadian perkara.

Informasi yang dihimpun menyebut, korban pada dua hari sebelumnya (selasa malam) sempat masuk rumah sakit santa anna kendari karena menderita luka tikaman di bagian perut. Korban terkena tikaman seseorang usai terlibat cekcok di kawasan keramaian kendari beach. Namun, hanya semalam dirawat, korban akhirnya  meninggalkan rumah sakit dan memilih merawat sendiri lukanya di kamar kos rekannya.

"Diduga luka korban mengalami infeksi membuat korban akhirnya meninggal dunia,"kata salah satu penghuni kos. Yos

Distan Bombana Bidik Peningkatan Tanaman Holtikultura

$
0
0
Asis Fair, Kadis Pertanian Bombana
BOMBANA, SULTRANEWS-Pasca mendokrak capaian hasil panen padi masyarakat, hingga melampaui target Nasional, Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Bombana kembali membidik peningkatan untuk tanaman Holtikultura di Bombana.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bombana, Asis Fair mengatakan pihaknya sedang gencar - gencarnya  
membina petani untuk peningkatan tanaman Holtikultura berupa tomat, cabe hingga sayur-sayuran berupa kol.

Sedikitnya, sekitar 12 Hektar lahan tani kata Asis, telah disiapkan Distan Bombana guna mendokrak hasil produktifitas hasil tani Holtikultura ini. 

"12 Hektar itu disiapkan di Desa Tampabulu dan Desa Biru Kecamatan Poleang Utara. Dua desa ini akan jadi binaan sentra tanaman holtikultura," pungkas Asis Fair.

Mantan Kadisduk capil Bombana ini menegaskan,  petani tidak susah susah lagi untuk memasarkan hasil tanamannya. Sebab pembeli kata Asis, sudah stand by memborong hasil panen masyarakat.

"Kami sudah koordinasi dengan    Pihak pasar Baruga dan pasar Kota kendari, siap menampung hasil tanaman holtikultura di dua Desa ini," tukasnya.

Guna memacuh hasil produktifitas petani, Distan Bombana siap membantu penyediaan alat hentraktor hingga pupuk. Bahkan tidak cuma itu,  masyarakat ikut didampingi oleh kelompok petani indonesia yang pernah sukses dari Negara jepang. (BADAR)

Kala Batu Akik Jadi Trend

$
0
0
Batu akik asal Sultra. foto: FB Dheny Lahundape

KENDARI, SULTRANEWS-Saat batu akik menjadi trend dan akhirnya punya nilai ekonomi, maka kerusakan lingkungan sudah berada di depan mata kita. Pernyataan tegas ini disampaikan  Imanche Al Rachman, penggiat lingkungan dari LSM Komnasdesa-Sultra di hadapan puluhan wartawan saat kegiatan training dan fellowship isu lingkungan yang diselenggarakan AJI Kendari, (18/4) lalu.

Menurutnya, batu akik yang sudah bernilai ekonomi  tak ada bedanya dengan batu mulia lainnya, seperti emas, intan dan berlian, karena akan selalu diburu para kolektor atau pencinta batu. Ironisnya, dalam perburuan batu akik dan sejenisnya ini dilakukan tanpa memperdulikan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan yang baik, bahkan lebih condong pada aktifitas perusakan.

Ini dapat dilihat dari aktifitas penambangan batu akik di sejumlah lokasi, seperti di Pulau Kabaena (Bombana), Kawasan hutan Warangga (Kabupaten Muna), kawasan hutan lindung Kolaka dan Kolaka Utara dan di kawasan Labuan Peropa (Kabupaten Buton Utara) yang merupakan bagian dari kawasan hutan Margasatwa Tanjung Peropa.

Di kawasan hutan alam  ini setiap harinya ada sekitar  puluhan sampai  ratusan orang menggali tanah hutan, sehingga dengan sadar warga telah merusak biodiversity kawasan. Di Sultra, Kabupaten Buton Utara  dianggap sebagai salah satu daerah yang memiliki kualitas batu alam terbaik, karena memiliki pancawarga terbaik menjadi tujuan utama banyak pebisnis batu.

Dan sangat disayangkan, sihir batu akik tidak hanya digilai oleh para pebisnis batu akik, tetapi juga disukai oleh hampir semua kalangan, tak terkecuali mereka yang selama ini mengaku sebagai aktifis penyelamat lingkungan, Ini terlihat dari seringnya oknum-oknum aktifis mengkampanyekan batu akik di dunia maya. 

“Inilah yang menjadi kekhawatiran kita, karena batu akik sudah bernilai maka manusia  menjadi tidak peduli lagi, walau sebenarnya yang ereka lakukan itu adalah tindakan masiv yang merusak lingkungan,”kata Imanche Al Rachman.

Ironisnya, sejumlah pemerintah kabupaten di Sultra telah membuat Peraturan Daerah (perda) yang mengatur tentang perniagaan batu akik di wilayah mereka. Salah satu daerah di Sultra yang telah menggodok perda adalah Kabupaten Bombana. 

Di Kota Kendari senntra penjualan batu akik tersebar di beberapa tempat, dan terbesar berada di kawasan MTQ Square. DI tempat ini ratusan pedagang batu akik menawarkan pada para pencinta batu akik dengan berbagai harga. Di pasaran harga batu akik memang tengah mentereng. Biji batu cincin dapat dihargai dari seratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Sebenarnya, bagaimana awal batu akik ini menjadi sangat fenomenal di Indonesia? Padahal, batu akik dengan berbagai macam jenis batu telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Konon, batu akik ini menjadi kian moncer setelah Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan hadiah batu akik jenis bacan kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Pemberitaan pun meluas hingga akhirnya publik nasional dan internasional pun tahu kalau SBY dan Obama sama-sama menggunakan batu akik jenis bacan. Namun, SBY dalam hal ini belum pernah mengeluarkan statement.

Batu bacan ini berasal Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Daerah Bacan ini memang dikenal dengan penghasil batu cincin. Sebelum menjadi batu cincin, batu bacan harus dicari yang memiliki warna khusus. Bahkan, batu yang dimiliki mempunyai sifat bernyawa.

Batu bacan memiliki beragam warna, bahkan suhu tubuh manusia bisa memengaruhi keindahan batu bacannya.

Selain SBY dan Obama, konon Sultan Hasanal Bolkiah raja Brunei pun menggunakan batu bacan ini. Dan puncaknya, saat pertemua Konferensi Asia Afrika dimana Presiden Joko widodo menghadiahi para pemimpin Negara yang hadir dengan batu mulia ini. Bahkan, saat hendak diserahkan batu yang akan jadi hadiah ini dikawal oleh polisi dan tentara laksana mengawal para presiden.

Setelah batu bacan terkenal, batu akik dari jenis batu-batu yang lain pun ramai diburu oleh para kolektor batu akik, hingga akhirnya masyarakat awam pun kini ikut-ikutan latah menyukai batu akik. YOS/Merdeka.com

Viewing all 221 articles
Browse latest View live