Quantcast
Channel: Sultranews.com | Situs Berita Sulawesi Tenggara
Viewing all 221 articles
Browse latest View live

Warga Sultra Malu Lihat Sikap Ridwan BAE di MKD

$
0
0

 
Ridwan Bae. foto: news.metrotvnews.com
SULTRANEWS-Sikap Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae yang bersikeras membela Ketua DPR Setya Novanto  mendapat sorotan tajam dari warga  Sulawesi Tenggara. Apa yang dilakukan Ridwan dinilai telah mencoreng nama daerah yang diwakilinya sebagai wakil rakyat di DPR RI itu. 
"Sebagai warga Sultra saya malu melihat sikap Ridwa Bae yang memberikan pembelaan para orang  yang nyata-nyata melakukan pelanggaran,"kata Rahman, seorang warga Kendari.
Sikap Ridwan Bae juga mendapat banyak kecaman dari nitizen. Ini terlihat dari sejumlah group Faceebook yang rata-rata mengecam sikap mantan Bupati Muna tersebut.
Dalam berbagai pemberitaan nasional, Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae bersikeras membela Ketua DPR Setya Novanto yang menginisiasi pertemuan dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin tak bersalah.

Novanto yang mengajak pengusaha minyak M. Riza Chalid, bukan anggota atau Ketua Komisi VII dinilai bukanlah permasalahan krusial. "Saya rasa itu pertemuan pribadi ya. Tidak masalah," kata Ridwan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/12/2015).

Ridwan juga tak mempersoalkan kemungkinan adanya niatan Novanto ikut campur dalam perpanjangan kontrak PT FI. Padahal, dalam rekaman jelas terdengar Novanto seolah menjamin bisa mengatur segala hal.
Dalam kaca mata Ridwan, belum tentu benar Novanto melanggar terkait materi pembahasan pertemuan. Itu hanya menjadi kecurigaan Maroef. "Faktanya tidak ada apa-apa yang terkesan bahwa Pak Setya Novanto melanggar. Itu kan niatan," ucap dia. SN/MD



Kembangkan Cengkih Pemkab Kolaka Gandeng HM Sampoerna

$
0
0
Cengkih menjadi salah satu komoditi pertanian yang banyak dikembangkan di Sultra. foto: YOS/SULTRANEWS

SULTRANEWS-Sebagai sentra pengembangan tanaman cengkih di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Kolaka menjadi surga bagi investor. Pemerintah Kolaka kemudian menggandeng HM Sampoerna  memberikan pelatihan pada petani agar cengkeh produktivitas perkebunan mereka meningkat.

Sebagai langkah awal pihak HM Sampoerna yang telah memberikan bantuan bibit cengkih kepada petani di Kelurahan Lalomba Kecamatan Kolaka, yang melalui Bupati Ahmad Sjafei.

Turut hadir Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Pertanian, dan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Cengkih Indonesia.

Menurut Safei, pelatihan bagi petani cengkih sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil, apalagi produksi cengkih ini merupakan bahan pokok bagi perusahaan Sampoerna.

Sementara Direktur Pengembangan   PT HM Sampoerna yang diwakili Henny Sutomo mengatakan program bantuan bibit cengkih untuk petani di Kolaka telah berjalan selama satu tahun dengan pola partisipatif. Dengan adanya bantuan bibit ini diharapkan kehidupan petani bisa lebih sejahtera.

“Harapan kami  agar petani merawat dan menjaga tanaman perkebunan itu sehingga bisa menghasilkan produk dan mutu yang baik untuk bahan baku perusahaan pabrik rokok,”ungkapnya

Bantuan bibit cengkih oleh pihak HM Sampoerna disebarkan kepada kelompok petani tersebut sebanyak 50.000 pohon.

Selain  cengkih, Kabupaten Kolaka merupakan salah satu sentra produksi kakao terbesar sekaligus telah menjadi ikon Provinsi Sultra itu. SN


Gubernur Serahkan Kendaraan Operasional Daerah Bencana

$
0
0

SULTRANEWS-Empat kabupaten di Sulaweesi Tenggara mendapat kendaraan operasional bantuan peralatan pendukung bencana daerah. Bantuan diserahkan langsung  Gubernur Sultra Nur Alam.

Ke empat daerah yang menerima bantuan masing-masing, BPBD Kabupaten Buton satu uni mobil tangki , Kabaupaten Kolaka satu unit mobil truk, BPBD Konawe Selatan satu unit mobil truk serba guna dan Kabupaten Buton Selatan satu unit mobil rescue.

Turut hadir dalam pemberian bantuan, Kapolda Sultra Brigjen Agung Sabar Santoso, para pimpinan SKPD Provinsi dan yang mewakili pimpinan Legislatif.
 
Gubernur Nur Alam  dalam sambutannya meminta  agar daerah penerima bantuan dapat menggunakan kendaraaan itu sesuai dengan peruntukannya dan tidak digunakan di luar ketentuan. "Tolong digunakan sesuai peruntukannya,"pesannya.

Usai diserahkan, para sopir  berkeliling kantor gubernur sebelum kendaraan itu di kirim ke daerah atas permintaan gubernur

"Ini adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada publik bahwa kendaraan ini benar-benar dalam kondisi prima saat diserahkan," ujar Nur Alam.

  SK/AN

Dua Pelaku Bantai Burung Julang Sulawesi Lalu Dipamer ke Medsos

$
0
0

Burung Julang Sulawesi yang mati ditembak lalu diunggah ke medsos facebook namun kemudian dihapus diduga untuk menghilangkan jejak. foto: Facebook



SULTRANEWS-Aktifitas perburuan hewan dilindungi terus saja terjadi. Bahkan para pelaku tak jarang memamerkan hasil buruannya ke media social, seperti facebook. 

Seperti foto yang diunggah seorang warga bernama firly panamon di laman social facebook belum lama ini. Di mana dalam foto tersebut tampak dua orang yang menenteng dua senjata burung  memamerkan hasil buruan mereka, berupa burung julang Sulawesi ekor hitam.

 Dari ciri-ciri kedua pelaku warga Pulau Sulawesi, namun tak diketahui di provinsi apa di Sulawesi. Foto yang sempat dimuat itu sempat mendapat banyak tanggapan pro kontra dari warga, sebelum akhirnya menghapus postingan foto yang sudah menyebar luas tersebut. 
Burung julang sulawesi yang dibantai pelaku. foto: facebook

Kedua pelaku memarkan hasil buruan berupa burung julang sulawesi. foto: Facebook

Salah satu pelaku memamerkan hasil buruannya. foto: Facebook


Tentang Julang Sulawesi

Julang sulawesi (Aceros cassidix) adalah spesies burung rangkong dalam famili Bucerotidae. Burung ini endemik di Sulawesi. Di daerah Minahasa. burung ini dikenal dengan nama Burung Taong. Dalam bahasa Inggris disebut Horbbill, di Indonesia dikenal juga sebagai Julang, Enggang, dan Kangkareng. Burung Rangkong atau Enggang, tergolong jenis burung di lindungi oleh undang-undang. Burung ini terdiri dari 57 spesies yang tersebar di Benua Asia dan Benua Afrika, 14 jenis di antaranya terdapat di Negara Indonesia, dan 3 jenis adalah termasuk Burung endemik Indonesia, atau hanya hidup di habitatnya di Indonesia.

Dari ketiga jenis burung Rangkong endemic Indonesia tersebut, dua jenis merupakan Rangkong endemic Sulawesi, yaitu (pertama) Rangkong Sulawesi atau Julang Sulawesi Ekor Hitam (Rhyticeros Cassidix), biasa juga disebut Rangkong Buton, Burung Taon atau Burung Allo.(kedua) Julang Sulawesi Ekor Putih atau Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus). Ciri-cirinya Burung Rangkong adalah , memiliki ciri khas berupa paruh yang sangat besar menyerupai tanduk, makanya disebut marga "Bucerotidae" (bahasa Yunani) yang artinya adalah "Tanduk Sapi". Dimensi ukuran tubuh Rangkong Indonesia 40 - 150 sentimeter, dengan rberat mencapai 3.6 Kilogram. Warna bulu Rangkong jenis ini umumnya didominasi oleh warna hitam (bagian badan) dan putih pada bagian ekor.

Sedangkan warna bagian leher dan kepala cukup bervariasi, kemudian suara dari kepakan sayap dan suara "calling", seperti yang dimiliki Rangkong Gading (Buceros vigil) dengan "calling" seperti orang tertawa terbahak-bahak dan dapat terdengar hingga radius 3 kilometer. Makanan utamanya adalah buah-buahan dan binatang kecil seperti kadal, kelelawar, tikus, ular serta berbagai jenis serangga. Penyebaran Burung Rangkong tmulai dari daerah sub-sahara Afrika, India, Asia Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon Sebagian besar hidup di hutan hujan tropis. Julang sulawesi menghuni hutan primer dan hutan rawa. Spesies rangkong ini banyak ditemukan di daerah hutan dataran rendah dan perbukitan (0 - 1000 mdpl). Terkadang ditemukan di hutan subordinat yang tinggi dan petak hutan yang tersisa dengan lahan pertanian yang luas. Terkadang pula mengunjungi hutan bakau di tepi pantai. SK/Berbagai

1335 Calon Jamaah Haji Asal Sultra Siap Diberangkatkan

$
0
0


SULTRANEWS-Kantor Wilayah Kementrian Agama Sulawesi Tenggara merilis jumlah total jamaah haji asal Sultra pada musim haji tahun 2016 ini. Dari data yang ada terdapat 1335 orang calon haji yang siap diberangkatkan. Bahkan pengurusan visa yang merupakan dokumen perjalan haji telah dilakukan secara bertahap.

Jika tahun sebelumnya pengurusan visa calon haji dilakukan serentak sesuai jumlah calon haji yang berangkat maka pada  tahun 2016 ini dikuotakan perkloter. Hal ini dilakukan untuk memperlancar pengurusan dokumen langsung dari arab saudi dan menghindari kemungkinan adaya calon haji yang gagal berangkat.

Rombongan calon jamaah haji Sulawesi Tenggara nantinya akan dibagi dalam tiga kelompok terbang yakni kloter 19,  20 dan 21. “Tahun ini, jamaah haji asal Sultra akan dibagi dalam tiga klorter,” ungkap Wa Masi, Kepala Bidang Haji dan Umroh, Kanwil Kementrian Agama Sultra.

Saat ini persiapan pemberangkatan para calon jamaah haji tengah dilakukan. Jika tahun sebelumnya pengurusan visa calon haji dilakukan serentak sesuai jumlah calon haji yang berangkat maka pada  tahun 2016 ini dikuotakan perkloter.
Hal ini dilakukan untuk memperlancar pengurusan dokumen langsung dari arab saudi dan menghindari kemungkinan adaya calon haji yang gagal berangkat.

Sampai pelunasan biaya haji tahap kedua akhir juni lalu, terdata ada sekitar 30 orang yang mengundurkan jadwal keberangakan hajinya pada tahun depan. Pihak kementrian pun akan memprioritas mereka dalam daftar pemberangkatan haji tahun 2017.  YJ

Tindakan Perpoloncoan Siswa akan Ditindak

$
0
0


Suasana kegiatan orientasi siswa yang pernah dilakukan di Kendari. foto milik sman1kendari.blogspot.com
SULTRANEWS-Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kendari  menyayangkan masih adanya tindakan perpoloncoan di lingkungan sekolah dan berjanji menindak lanjuti tindakan yang melanggar aturan tersebut.

Temuan tindakan perpoloncoan tersebut, yakni adanya pemberian tugas pada  siswa membawa sapu di sekolah  dan melibatkan banyak panitia osis selama dalam masa orientasi pengenalan lingkungan sekolah (PLS).

 “Secara umum pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah di kendari berjalan sesuai aturan, meski masih ada beberapa sekolah tingkat SMA dan SMP yang menerapkan pola sistem di luar ketentuan,”kata Makmur, Kadis Dikbud Kota Kendari, usai melakukan evaluasi sistem pengenalan lingkungan sekolah.

Di beberapa sekolah di Kendari sudah menerapkan sistem PLS sesuai ketentuan dengan banyak memberikan pengenalan lingkungan sekolah,  pola kebersihan dan program pendidian sekolah ke depan. “Kami memberikan  pengenalan lingkungan pada siswa saat PLS,” kata Andy Nurdin, Kepala SMA Negeri 3 Kendari.

Sistem pengenalan lingkungan sekolah atap PLS yang di terapkan dalam pembinaan pendidikan siswa baru mendapat apresiasi banyak pihak.Salah satunya datang dari kalangan akademisi. Jamirudin, Akademisi Unibersitas Haluoleo Kendari menyatakan, pola didik siswa baru dengan sistem PLS akan  lebih meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam memasuki lingkungan pendidilkan baru, disamping mengutamakan pembinaan mental dengan solidaritas tinggi.

“ Pola pengenalan lingkungan sekolah ini / tentu berbeda dengan sistem perpeloncoan yang banyak menimbulkan masalah akibat praktek tindak kekerasan senior kepada yuniornya,”kata Jamiruddin. Pola perpeloncoan itu pula yang dinilai menjadi cikal bakal munculnya anarkis dan aksi tawuran di kalangan siswa. YJ

Konawe Akhirnya Raih Piala Adipura

$
0
0
SULTRANEWS-Sekian lama absen dari penghargaan lingkungan hidup, Kabupaten Konawe akhirnya kembali membuktikan layak meraih supremasi sebagai salah satu daerah terbersih di Indonesia. Penghargaan piala adipura ini membuktikan keseriusan  pemerintah Konawe di bawah duet  Kerry-Parenrengi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Konawe.
Bupati Konawe Kerry Konggoasa dan Wakil Bupati Konawe, Parinringi memperlihatkan piala Adipura yang bershasil diraih Kabupaten Konawe. foto: SARLAN

“Terimakasih atas semua kerjasama pihak yang telah berpartisipasi membangun kebersihan konawe sehingga kita dapat meraih piala adipura tahun 2016 ini,”ungkap Kerry Saiful Konggoasa.
Bupati Konawe, Kerry bertekad untuk terus mempertahankan apa yang telah diraih tersebut. “Ini merupakan langkah awal dan Kita optimis tahun-tahun mendatang piala adipura tetap akan pertahankan,”tegasnya.

Seperti diketahui, Konawe memiliki wilayah yang cukup luas sehingga mendapat julukan kota terpanjang. Saat ini Konawe tengah gencar melakukan penghijauan di sepanjang kota Unaaha hingga ke wilayah Wonggeduku. Sepanjang jalan di wilayah ini cukup teduh dan tampak bersih dari sampah.

100 Gram Sabu Diamankan Polisi

$
0
0
Ilustrasi. foto Int
SULTRANEWS-Petugas Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Tenggara mengamankan barang bukti narkoba jenis sabu seberat 100 gram lebih dari 5 orang pengedar di Kota Kendari. Barang bukti sabu yang disita hampir sebagian besar sudah dikemas dalam plastik kecil siap edar. Selain barang bukti sabu, petugas juga menyita barang bukti lainnya, seperti alat hisap atau bong, uang tunai yang diduga sebagai hasil penjualan sabu, timbangan digital serta beberapa unit telepon genggam.

Wakil Direktur Narkoba Polda Sulawesi Tenggara, AKBP La Ode Aries Elfatar mengatakan, para pelaku berhasil diringkus di lokasi berbeda. ” Para pelaku ditangkap di tempat berbeda di dalam wilayah kota kendari, yakni di kecamatan poasia dan Wuawua. Penangkapan pelaku berhasil setelah petugas melakukan penyamaran sebagai pembeli,”kata Aries.

Polisi menyebut, para pelaku merupakan target operasi setelah mendapat laporan dari masyarakat.
Kini kelima pelaku sementara dalam proses penyidikan guna mengungkap jaringan peredaran narkoba yang dilakukannya, serta mengetahui dari mana barang haram diperoleh para pelaku.

Guna mempertanggung jawabkan perbuatannya, kelima pelaku terancam pasal berlapis Undang – Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika  dengan ancaman hukuman minimal 20 tahun dan maksimal hukuman mati. YJ

Bupati Konkep Ciptakan Visit Kanopi Wawonii

$
0
0
Bupati Konawe Kepulauan, Ir. H. Amrullah MT. Dokumen foto milik Arsyad Salam
 SULTRANEWS- Keindahan alam Konawe Kepulauan ibarat gadis cantik bagi pariwisata Sulawesi Tenggara. Ini pula yang mengilhami  Bupati Konawe Kepulauan, Ir H Amrullah, MT melontarkan sebuah ide mengenai promosi tiga destinasi wisata andalan Pulau Wawonii. 

"Beliau menciptakan sebuah akronim untuk 3 lokasi wisata yang diberinama KANOPI (Kampa, Tumburano dan Watuntinapi). Kampa adalah obyek wisata pantai yang luar biasa indah. Sementara Tumburano adalah obyek wisata air terjun yang sangat terkenal, baik karena bentuknya yang unik maupun legenda cinta tak sampai dibalik cerita air terjun itu. Sedangkan Watuntinapi adalah situs purbakala yang sangat unik berupa batu bersusun peninggalan peradaban masa lalu Pulau Wawonii,"urai Arsyad, bagian Humas dan Protokoler Kabupaten Konawe Kepulauan.
 

Dengan tagline KANOPI ini, lanjut Arsyad, membuat tiga obyek wisata tersebut bisa dipopulerkan dan mudah diingat. SN

Kisah Warga Kendari Manfaatkan Gas Metan dari Sampah

$
0
0


Sampah yang menghasilkan gas. Dok foto milik menatapaceh.com
Pemanasan global yang terjadi saat ini merupakan isu lingkungan yang sudah dirasakan masyarakat dunia. Dampak pemanasan global yang sudah mulai dirasakan  antara lain perubahan iklim, perubahan rata-rata suhu harian, kelembaban, kemarau yang berkepanjangan dan tidak menentu, curah hujan serta semakin menipisnya lapisan ozon.

Dari sekian banyaknya jenis pencemaran udara, yang membahayakan salah satunya adalah gas methane (CH4). Gas ini merupakan salah satu gas penyebab terjadinya efek rumah kaca dan dapat menimbulkan bahaya langsung, seperti kejadian meledaknya tempat pembuangan akhir (TPA) leuwi Gajah bandung yang mengakibatkan meninggalnya 147 warga di sekitar TPA dan bahkan keracunan yang menyebabkan hilangnya nyawa seperti kasus yang terjadi pada meninggalnya bayi di sidoarjo akibat terpapar gas methane dalam waktu lama dan konsentrasi tinggi. Beberapa contoh diatas merupakan efek berbahaya dari gas methane jika tidak dimanfaatkan dengan baik.

Beberapa contoh diatas membuat pihak Pemerintah Kota Kendari yang merupakan Ibu Kota dari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mencoba untuk memanfaatkan tumpukan sampah yang berada di Kecamatan Puuwatu, Kota Kendari, sebagai salah satu energi terbarukan. Selama ini, tidak ada yang bisa menyangka bahwa tumpukan sampah yang sudah mengalami pembusukan ternyata bisa dimanfaatkan kembali menjadi energi terbarukan.

Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa salah satu kerusakan lapisan ozon yang terjadi selama ini akibat dari hasil pembusukan yang terjadi di TPAS yakni unsur CH4yang jika dilepas begitu saja akan mengakibatkan emisi gas rumah kaca sehingga menyebabkan lapisan ozon semakin menipis. Tentu saja jika hal ini terus-menerus dibiarkan, maka akan semakin merusak ozon.

Pemanfaatan gas metan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kendari merupakan salah satu contoh kongkrit bahwa gas methane yang bisa merusak lapisan ozon jika dikelolah dengan baik maka dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari Kampung Mandiri Energi yang saat ini dibangun oleh pemerintah dengan jumlah 126 Kepala Keluarga (KK) menggunakan hasil pengelolaan gas methane sebagai bahan bakar, sehingga menggantikan minyak tanah dan gas elpiji.

Kepala Dinas Kebersihan Kota Kendari, Tin Farida, yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan gas methane tersebut, menuturkan bahwa selama ini pihaknya berupaya untuk terus melakukan pengelolaan gas methane melalui proses yang sederhana dengan cara penangkapan gas methane melalui intstalasi pipa.

Hasil dari pengelolaan gas tersebut juga dimanfaatkan oleh warga masyarakat yang bermukim di sekitar TPAS Puuwatu untuk memasak dan sebagai alat penerangan, sehingga warga yang bermukim di sekitar TPAS yakni Kampung Mandiri Energy tidak hanya menggunakan gas methane untuk memasak melainkan juga sebagai alat penerangan menggantikan listrik.

Menurutnya, pengelolaan gas methane yang sudah dimulai sejak tahun 2010 lalu, sudah mulai bisa dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat sejak beberapa tahun lalu untuk memasak, sehingga masyarakat tidak perlu lagi menggunakan minyak tanah atau gas elpiji. Tentu saja dengan pemanfaatan gas methane yang dilakukan oleh pemerintah dan diberikan kepada masyarakat memberikan keuntungan ekonomi secara langsung kepada masyarakat. Pasalnya, dengan menggunakan gas methane untuk memasak, artinya masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli minyak tanah atau gas elpiji, sehingga sisi ekonominya terpenuhi.

“Pengelolaan gas methane ini sudah mulai kita lakukan sejak tahun 2010 lalu, kami berusaha untuk mengelolah gas methane ini agar tidak lepas ke udara, karena kita tahu bersama jika gas ini dilepas ke udara maka akan menyebabkan kerusakan lingkungan utamanya ozon, ozon akan semakin menipis,” ujarnya.
“Untuk itu, gasnya kita manfaatkan sebagai sumber bahan bakar untuk memasak melalui instalasi perpipaan dengan cara yang sangat sederhana, awalnya juga kami memanfaatkan gas methane ini dengan skala kecil-kecilan, karena dulu hanya untuk memasang bagi semua warga dibuatkan satu tempat masak, kalau sekarang sudah dibuatkan perkampungan,” terangnya.

Pengelolaan gas methane yang dilakukan di TPAS Puuwatu memang secara bertahap, setelah dipelajari dan diketahui bahwa gasnya bisa lebih banyak lagi. Pemerintah berinisiatif untuk mendirikan kampung Mandiri Energi.

Nur Razak, Sekretaris Dinas Kebersihan Kota Kendari, menjelaskan bahwa pengelolaan gas methane yang dilakukan di TPAS hingga saat ini tidak melibatkan kajian dari pihak akademisi. Temuan dan keberhasilan dalam pengelolaan gas methane yang saat ini dimanfaatkan oleh warga merupakan hasil study banding yang dilakukan di beberapa daerah. Setelah melakukan study banding, pihaknya memperlajari dengan menggunakan beberapa referensi buku dan pengetahuan dari internet.

Masyarakat yang bermukim di Kampung Mandiri Energi saat ini sudah bisa memanfaatkan gas methane untuk memasak juga sebagai alat penerangan. Keunikan lain dari pemanfaatan gas methane sebagai energy terbarukan ini, dapat digunakan sebagai genset, sehingga tidak memerlukan listrik.

“Kalau untuk memasak gas methane yang kami aliri ke rumah masyarakat itu sudah jelas menggunakan pipa, jadi ada semacam kran yang diputar dan gasnya bisa langsung dimanfaatkan untuk memasak, sementara genset yang kami gunakan untuk mengaliri listrik ke rumah warga juga tidak menggunakan bensin melainkan gas methane dengan cara mengubah system pembakarannya dengan menggunakan terknologi sederhana yakni mesin mobil,” jelasnya.

Pemanfataan gas methane yang digunakan masyarakat menggantikan minyak tanah dan gas elpiji dapat digunakan dalam waktu 1x24 jam atau sehari, sehingga masyarakat tidak perlu lagi menggunakan minyak tanah ataupun gas elpiji. Sementara untuk listrik dihasilkan pada TPAS saat ini dalam sehari bisa mencapai daya 52 ribu watt.

Dengan jumlah volume sampah yang ada saat ini maka pengelolaan gas methane bisa digunakan hingga 15 bahkan 20 tahun kedepan. Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan ketersediaan gas methane yang menggantikan minyak tanah dan gas elpiji.

“Masyarakat sudah membuang sampah sejak tahun 2002 lalu di TPAS kita, kalau menghitung volume sampah secara keseluruhan mungkin agak susah namun volume sampah perhari kita saat ini mencapai 1000 kubik, namun jika dilihat ketersediaan sampah yang ada saat ini maka dapat digunakan hingga 15 atau 20 tahun mendatang untuk gas methane yang sudah dikelolah,” tukasnya.

“Sudah ada beberapa bagian yang sampahnya ini kita timbun yang kemudian akan mengalami pembusukan, dari pembusukan itu akan menghasilkan gas methane, gas methane ini kita kelolah dengan baik, penelitian kami tujuh tahun pertama akan naik dan akan turun hingga 15 atau 20 tahun, jadi bisa digunakan selama itu,” katanya.

Meskipun pihaknya mengatakan dapat dimanfaatkan selama 20 tahun kedepan,namun tidak menutup kemungkinan, jika dikembangkan dengan lebih baik lagi, maka bisa lebih dari 20  tahun. Pasalnya volume sampah yang ada di TPAS, dari tahun ke tahun pasti akan terus mengalami peningkatan. Sehingga pemanfaatan gas methane bisa terus dilakukan, selama masih ada sampah dan terus dikelolah dengan baik.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah tersebut sudah menarik perhatian negara luar seperti Australia, Jerman dan Belanda untuk melihat bagaimana pengelolaan sampah yang bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Gas methane ini kan sangat berbahaya jika dilepas langsung ke udara, sehingga dengan pengelolaan yang kita lakukan dibakar lalu menghasilkan CO2, jadi gasnya sudah netral, tidak berbahaya lagi, bahkan apa yang kami lakukan saat ini disarankan dunia, kami tidak hanya melakukan pembakaran yang sia-sia tetapi kami manfaatkan,” jelasnya.

Nur Razak yang sejak tahun 2010 telah terlibat langsung dalam pengelolaan gas methane ini juga menambahkan bahwa sudah sekitar 287 kabupaten/kota yang datang untuk melihat langsung pengelolaan gas methane tersebut.

Sementara itu, Yusran, salah seorang warga Kampung Mandiri Energy, menuturkan bahwa sejak tahun 2011 lalu, ia bersama warga lainnya telah merasakan manfaat langsung dari pengelolaan gas methane yang digunakan untuk memasak.

“Dulu kami belum tinggal di Kampung Mandiri Energy, tapi sejak tahun 2011 gas methane ini sudah kami manfaatkan, jadi kami dibuatkan dapur umum untuk memasak, semua warga TPAS pakai dapur umur tersebut kalau masak, jadi kami memang tidak pakai minyak tanah lagi,” ujarnya.

Tentu saja dengan demikian, masyarakat merasa terbantu dari sisi ekonomi selain sisi utamaya yakni menjaga kelestarian lingkungan dan tidak merusak lapisan ozon. Ia juga mengatakan bahwa selama ini ia bisa memanfaatkan gas methane untuk memasak 1x24 jam, begitu pula dengan listrik yang saat ini sudah dialiri di rumah warga.

“Pasti lebih irit karena tidak beli minya tanah dan bayar listrik lagi, selama ini juga kami sudah gunakan gas methane untuk memasak bahkan sebelum Kampun Mandiri Energy ini didirikan, “ ujarnya.

Selama ini, pemanfaatan gas methane yang digunakan oleh warga juga tidak mengandung bahan berbahaya, bahkan belum ada yang keracunan atau mengalami gangguan karena pemanfaatan gas methane tersebut.

“Aman-aman saja, belum ada yang membahayakan akibat pemanfaatan gas methane, apinya juga aman, masalah gas yang dihasilkan juga tidak menyebabkan kebakaran, jadi kami sangat bersyukur dengan adanya gas methane yang bisa kami gunakan secara langsung,” katanya.

Walikota Kendari, Asrun, selaku pengambil kebijakan mengatakan bahwa upaya pemerintah selama ini dalam pengelolaan gas methane memang sengaja dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan dapat dimanfaatkan secara langsung.

Awalnya, dengan menggunakan anggaran sekitar kurang lebih Rp. 200 juta, pihaknya berhasil menangkap gas methane tersebut dan dimanfaatkan dengan skala yang masih kecil pada tahun 2011 lalu.  Pihaknya juga terus berupaya dengan kebijakan yang ada untuk terus mengembangkan pengelolaan gas methane tersebut sehingga dapat dimanfaatkan. Hingga saat ini anggaran yang telah dikeluarkan untuk pengelolaan gas methane sudah mencapai Rp. 3 Milyar. 

Pihaknya juga terus berupaya agar pemanfaatan gas methane yang saat ini diberikan secara gratis kepada warga akan terus dilakukan dengan pengelolaan yang sederhana. “Cita-cita kami itu bisa membantu warga masyarakat agar lebih sejahtera sehingga saya dirikan Kampung Mandiri Energy, masyarakat bisa memanfaatkan gas methane untuk masak dan listrik, semuanya itu gratis, saya juga tidak punya rencana untuk memungut biaya dari semua itu,” terangnya. 

Dengan pengelolaan gas methane yang saat ini terus dikembangkan, pemerintah juga bisa memberikan contoh ramah terhadap lingkungan. Sehingga tidak salah, jika sudah banyak kabupaten/kota yang datang untuk belajar dari Kota Kendari, seperti Kabupaten Bantul, Provinsi Yogyakarta dan Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang pada akhir Februari lalu berkunjung untuk mempelajari pengelolaan TPAS Puuwatu yang mengutamakan pengelolaan gas methane dan dimanfaatkan langsung masyarakat. 

Asrun juga menambahkan bahwa dengan luas TPAS Puuwatu yang saat ini mencapai 8 hektar dan akan ditambah 4 hektar kedepannya, sehingga menjadi 12 hektar dapat digunakan untuk terus menampung sampah dan dimanfaatkan melalui pengelolaan gas methane. 

“Kedepannya kami akan menambah perluasan TPAS kita sekitar 4 hektar, jadi luas keseluruhan TPAS kita menjadi 12 hektar, dengan luas seperti itu maka kedepannya gas methane yang dihasilkan TPAS kita pasti bisa dalam jumlah banyak, bahkan bisa jadi kami akan berupaya untuk menemukan lagi temuan agar gas ini bisa kita salurkan kepada masyarakat di luar TPAS, masih kita cari teknologinya jadi bisa lebih murah dibandingkan menggunakan minyak tanah dan gas elpiji,” tambahnya. 

Kesuksesan akan pemanfaatan gas methane tersebut tentu juga membutuhkan kontrol dan pengawasan langsung dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)Kota Kendari. Dengan demikian kebijakan yang dibuat pemerintah untuk tetap menggratiskan pemanfaatan gas methane di Kampun Mandiri Energi tetap dilakukan. Ketua DPRD Kota Kendari, Abdul Razak mengatakan bahwa pihaknya memberikan apresiasi kepada pemerintah yang dengan hanya anggaran tidak terlalu besar bisa memanfaatkan gas methane. 

“Awalnya pada tahun 2010 lalu, anggaran yang disetujui kurang lebih Rp. 200 juta, tapi langsung bisa mengelolah gas methane dan dimanfaatkan warga, tentu saja kami memberikan apresiasi. Kami juga tidak ingin lepas begitu saja, tetapi kami terus melakukan pengawasan terhadap pengelolaannya karena biar bagaimanapun menggunakan APBD,” ujarnya.

Sejauh ini,belum ada aduan yang didapatkan dari masyarakat terkait pengelolaan gas methane tersebut. Ia juga mengatakan bahwa pemerintah tidak memungut biaya sepeserpun untuk pemanfaatan gas methane yang diberikan secara gratis kepada masyarakat. 

Sebagai wakil rakyat, tentunya akan terus melakukan pengawasan, jika tidak sesuai atau ada yang merasa keberatan akan dikaji kembali anggaran yang dikeluarkan untuk pengelolaan gas methane tersebut.
Pihaknya berharap dengan niat baik yang dilakukan oleh pemerintah dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara langsung dan dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat gas methane  yang jika tidak dikelolah dengan baik. (Sitti Harlina)

Anggota Polisi Ditemukan Tewas Berlumur Darah

$
0
0
Kondisi mayat Brigadir Arifin saat ditemukan warga. foto: YJ

SULTRANEWS- Penemuan sesosok mayat yang terkapar di rerumputan, Kamis (28/7) pukul 05.30 wita, membuat Laoru, 55 th, kaget bukan kepalang. Betapa tidak, nelayan warga Kelurahan Lipu, Kecamatan Betoambari, Kota Baubau menemukan korban tergeletak berlumur darah.

“Saat itu saya melihat percikan darah dan sandal, kemudian saya telusuri ternyata ada mayat yang tergeletak di area tanah milik saya dalam kondisi meninggal dunia dan berlumuran darah,”ungkap Laoru pada petugas polisi.

Sejumlah informasi yang dihimpun di lokasi menyebut, lelaki berkaos hitam dan bercelana jeans hitam yang ditemukan itu bernama Arifin, adalah seorang   anggota polisi berpangkat Brigadir yang bertugas di sektor Lakudo, Polres Baubau.   

Muhlis, Seorang saksi mata, kepada polisi  mengungkap, sebelum ditemukan tak bernyawa, pada Kamis malam (28 Juli 2016) terjadi keributan di Café Song yang berdampingan dengan  Kafe Lakeba, Kelurahan Lipu, Kecamatan Betoambari.

Cerita Muhlis, awalnya sekitar pukul 22.40 wita korban Arifin masuk ke Cafe Songs Beach dan kemudian menanyakan ladis(istilah gadis café) bernama Aura dan Wida. Setelah itu korban masuk ke dalam Room Plengkung bersama kedua Ladis. Di dalam room tersebut ternyata sudah ada teman korban bersama ladis bernama  Maya.

Pada pukul 23.30 wita korban keluar room dan berkata kepada Aura,  bahwa, Ia sudah mabuk. Namun beberapa saat kemudian korban terlibat keributan dengan seorang laki-laki  yang belum ditau identitasnya. Dan saat itu Muhlis yang juga seorang kasir di songs beachmenegur kedua pria yang bertikai tersebut (korban dan lawan) agar tidak melakukan keributan di tempat itu. “Saya tegur mereka berdua agar jangan ribut di sini,”ungkap Muhlis.

Setelah menegur  Muhlis mengaku tidak lagi menghiraukan keduanya yang diguga melanjutkan pertikaian di luar area kafe, hingga akhirnnya korban Arifin ditemukan tewas bersimbah darah. Hingga kini kepolisian Polres Baubau masih mengumpulkan informasi terkait meninggalnya anggota polisi tersebut. YJ

Menyoal Bengkaknya Usulan Dana Pilgub Sultra, Capai 400 Miliar Rupiah

$
0
0
Dok foto milik www.suarakendari.com


* KPU Sultra Diminta Transparan

Usulan anggaran pilgub sultra senilai 400 Milyar merupakan nilai terbesar sepanjang perhelatan kontestasi pemilu di sulawesi tenggara, dan juga tertinggi kedua se-sulawesi setelah anggaran Pilgub Sulawesi Selatan. Dilihat dari besaran nilainya, angka ini tidak hanya terlalu tinggi dan terlihat fantastis, namun juga terlihat aneh dan mencurigakan. Kapasitas Sulawesi Tenggara untuk menyelenggarakan pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur, tentu tidak bisa disamaratakan dengan provinsi lain di pulau sulawesi. Kebutuhan rill penyelenggara dan situasi daerah kabupaten/kota yang cukup mudah di akses, menggambarkan bahwa usulan anggaran pilgub sultra kali ini idealnya tidak sampai ratusan milyar sebagaimana diusulkan KPU Sultra. 

Tentu dengan adanya lonjakan anggaran Pilgub yang sangat besar memiliki konsekuensi tersendiri bagi daerah dan anggaran yang ada, logika dari kenaikan anggaran pilgub sultra 2018 adalah penyertaan penggemukan sektor pembiayaan dan melejitnya nilai masing-masing pos anggaran. Diantara sekian banyak pos-pos anggaran pilgub yang akan banyak menelan biaya antara lain logistik, sosialisasi, honorarium PPK/PPS, verifikasi data pemilih, dan operasional pokja.

"Menyoal kebutuhan rill penyelenggara menyelenggarakan pilgub sultra tahun 2018, kiranya imajinasi KPU Sultra untuk mewujudkan pilgub yang berkualitas dengan anggaran berlimpah bisa dibilang tidak tepat sasaran, kurang relevan jika cerminannya adalah melakukan penggemukan postur anggaran. Kondisi logistik eks pemilu caleg, presiden, dan pilkada 5 kabupaten (2015) + 7 kabupaten/kota yang akan dihelat tahun 2017 semestinya masih bisa dipergunakan untuk Pilgub Sultra mendatang."ungkap Ahmad Iskandar Zulkarnain, koordinator LSM Puspa HAM Sultra. 

Selain itu, urai Ahmad Iskandar, indikasi pos anggaran pendataan pemilih yang kemungkinan akan digemukkan juga oleh KPU Sultra sangat bisa terdeteksi lewat besaran nilai yang KPU Sultra usulkan, padahal Data Pemilih tinggal menggunakan basis data pilcaleg, pilpres, dan pilkada serta data kependudukan catatan sipil masing-masng kabupaten, kalaupun terkait verifikasi maka komposisi anggarannya tidak boleh naik drastis, sebab mata angggarannya akan bertumpu pada hal-hal teknis verifikasi dan jelas secara rasio penggunaannya tidak akan memakan biaya tinggi. Begitu pula dengan pos-pos lain semisal operasional pokja dan sosialisasi. KPU Sultra harus mampu mengutamakan efisiensi anggaran, memanfaatkan yang sudah ada, meningkatkan kinerja kelembagaan tanpa melalukan pemborosan APBD yang berimplikasi pada defisit pembangunan dan pelayanan publik.

"Oleh karena itu, Puspaham Sultra mendesak KPU Sultra bersikap transparan dan melakukan uji publik melalui publikasi baik berbasis website maupun media massa yang dapat di akses khalayak ramai. KPU Sultra tidak boleh lagi menawarkan transparansi semu kepada publik. Dan KPU Sultra pula jangan berlaku layaknya pedagang anggaran yang memposisikan anggaran Pilgub seperti barang dagangan, yang diperjualbelikan atas nama demokrasi namun mendestruktif hak publik terhadap porsi APBD di sektor pelayanan publik dan lainnya,"kata Ahmad Iskandar. 

Puspaham juga mengingatkan Pemprov Sultra bersama DPRD Sultra untuk tidak mengamini usulan 400 milyar dan sebisa mungkin mengkritisi setiap poin-poin atau item-item anggaran sebagaimana tertuang di dalam draft usulan anggaran Pilgub Sultra 2018. Karena anggaran 400 Milyar untuk Pilgub Sultra sangat berlebihan dan tidak realisitis dengan situasi kontestasi demokrasi di Sultra. SN

Carut Marut Tambang Sultra dalam Catatan Jurnalis Lingkungan (Bagian 1)

$
0
0

Penampakan areal tambang di wilayah Pomalaan Kolaka menghancurkan kawasan hutan. foto: Yoshasrul
Mata Air, Air Mata Rakyat

Pertengahan Bulan Ramadhan 2011, Saya dan 6 jurnalis (Trans 7, SCTV, Metro TV, Trans TV, TV One, Antara Foto dan  Harian Kompas) melakukan peliputan di wilayah Konawe Selatan. Tepatnya di Desa Wonua Kongga, Kecamatan  Laeya sekaligusa mengunjungi Desa Torobulu, sebuah desa di pesisir.  Desa Wonua Kongga merupakan desa pemekaran baru yang dihuni mayoritas etnis Muna. Sepanjang melalui desa, kami disuguhi  jalan tanah gersang berdebu. Akses jalan masih status perkerasan tanpa aspal.

Kami mendatangi sejumlah warga yang bermukim di sana. Seperti di desa-desa lain yang dilalui tambang, kehidupan warga Wonua Kongga sama mirisnya. “Setali tiga uang” warga hidup di bawah garis kemiskinan dan hanya menjadi penonton para pengusaha tambang mengeruk bumi tanah mereka berpijak selama ini.  Kami menemukan  kehidupan miskin di sekitar kawasan tambang. Masyarakat yang sebagian besar mengandalkan hidup dari bertani ubi kayu dan mencari ikan kini tergiur menjadi pekerja tambang meski itu dengan gaji pas-pasan. Dan tetu saja sebagian besar dari masyarakat yang tidak direkrut. “Kami hanya bisa menerima dampak kerusakan, tanpa merasakan manisnya keuntungan tambang itu,”kata La Arman, warga. Meski begitu ada juga warga yang menjadi pekerja tambang tapi hanya bestatus buruh karena pendidikan mereka yang rendah, sehingga ditempatkan sesuai dengan proporsi sebagai buruh pengawas atau paling tinggi sebagai security yang berjaga 24 jam.

Tak hanya di Desa Wonua Kongga yang resah. Warga di desa Torobulu pun mengalami nasib serupa. Banyak warga hanya melihat dan mendengar masuknya perusahaan tapi mereka sama sekali tidak memperoleh manfaat. Bahkan sumber-sumber kehidupan seperti mata air yang selama ini menjadi tempat masyarakat mengambil untuk kebutuhan minum telah dikuasai oleh perusahaan. Tetesan air ini bahkan dijaga ketat oleh security dan preman tambang yang tidak memberikan sedikit pun pada warga.

Mata air itu terletak di sisi barat desa Torobulu. Namun IUP tambang yang diterbitkan bupati telah mencaplok hak warga atas mata air tersebut. “kami telah berkali-kali mengadu ke pemerintah kecamatan untuk menjembatani, tapi tidak ada tanggapan. Mungkin mereka sengaja mau membunuh hidup kami,”kata warga desa torobulu. Menjawab kebutuhan masyarakat perusahaan PT AHB yang kini mengelola eks lahan PT Inco itu memberikan jalan dengan membangun jaringan pipa air tanah ke rumah-rumah warga. Tapi sayang debit air yang kecil tak menjangkau perumahan warga. “Itu pipa hanya dipasang tapi tidak ada air yang mengalir,”tambah warga. Kebutuhan akan air sangat tinggi bagi masyarakat pesisir, hilangnya sumber air bersih, tentu saja menambah beban masyarakat Desa Torobulu dan terpaksa warga harus membeli lagi air besih melalui pedagang air, tentu  saja dengan harga yang cukup tinggi. 

Jaminan kesejahteraan yang selama ini didengung-dengungkan perusahaan dan pemerintah sejauh ini ibarat “jauh panggang dari api”. Kebanyakan perusahaan telah melakukan aktifitas produksi dengan melakukan pengapalan hasil tambang (ore) dengan nilai miliaran, namun ironisnya hasil tambang itu tidak juga bisa ‘menetes’ ke warga desa.  Sebaliknya hasil sebagian besar menetes ke oknum-oknum pejabat dan elit politik serta jasa pengamanan.

Cerita yang sama juga kini berlaku pulau kabaena, Kabupaten Bombana. di Sekitar 350 Kepala Keluarga di Desa Pongkalaero, Kecamatan Kabaena Selatan kini  kehilangan sumber air bersih. Kehadiran PT Anugrah Harisma Baraka mengolah tambang nikel didaerah itu, mengakibatkan sumber mata air warga yang berada dilokasi Manapulu tergerus dan tidak bisa lagi diakses oleh warga.

Padahal menurut warga setempat, sumber mata air yang berada di Manapulu merupakan satu-satunya sumber air warga disekitar Kecamatan Kabaena Selatan. “Sumber air kami sekarang tidak bisa lagi dimanfaatkan dan sekarang sudah ditutup oleh pihak perusahaan dengan alasan lokasi Manapulu merupakan kawasan Izin Usaha Pertambangan Nikel  PT  Anugrah Harisma Baraka,”terang Karta Patti, warga Desa Pongkalaero.

Selama ini kata Karta, warga kerap kali diancam dan diperiksa jika berusaha masuk mengambil air di Manapulu. Setiap hari petugas yang dibayar oleh perusahaan selalu berjaga-jaga di Manapulu untuk mengawasi jika ada warga yang mengambil air. “Saat ini warga semakin takut kalau mengambil air di Manapulu karena jika melawan warga diancam ditembak dan itu sudah pernah terjadi beberapa bulan lalu,”ujar Karta Patti.

Sementara itu Sahibu tokoh masyarakat Desa Pongkalaero, Kecamanatan Kabaena Selatan mengaku, kehadiran perusahaan tambang PT Anugrah Harisma Baraka sangat merugikan masyarakat setempat. Selain hutan disekitar perkampungan telah habis dibabat, sumber air bersih yang sering digunakan oleh warga juga ditutup oleh perusahaan karena masuk dalam Izin Usaha Pertambangan. “Kami harap agar Gubernur Sulawesi Tenggara mencabut izin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan untuk perusahaan,”imbuhnya.

Terjadi persaingan antara kebutuhan air domestik, baik untuk rumah tangga dan industri dengan air untuk pertanian. Karena industri tambang lebih terorganisir dan dekat dengan Pemerintah, mereka dengan bebas menyadap air dari sumbernya yang selama ini dipakai petani. Lebih-lebih dengan pengertian air minum merupakan prioritas pertama. Prioritas yang sebenarnya harus diperlakukan hanya bila ada beberapa permintaan yang bersamaan maka permintaan untuk air minum yang didahulukan itupun juka air di sumbernya masih ada sisa yang tidak dibutuhkan bagi pengguna yang sudah ada.

Bahkan beberapa peraturan yang mendukung adanya swastanisasi air ternmaktub jelas dalam Pasal 45 UU No.7 yang berbunyi: ayait (1) pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup, ayat (2) pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah, ayat (3) pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, tidak mengemukakan kewajiban yang yang harus dipikul oleh mereka. Hal ini juga bertentangan dengan kepemilikan air yang berada di sumbernya yaitu merupaqkan hak publik. Hanya sisa air yang tidak digunakan oleh pengguna yang yang sudah ada, biasanya air banjir yang dapat ditampung oleh suatu badan usaha yang kemudian dapat mereka usahakan.

Pasal 46 yang berbunyi: ayat (1) pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), ayat (2) alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan, ayat (3) alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah, ayat (4) dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan alokasi air sementara, tidak jelas bagaimana alokasi ditetapkan , tidak jelas kedudukan perngguna yang telah ada terutama petani yang telah turun temurun menggunakan air untuk mata pencariannya, tidak jelas alokasi sementara yang dimaksuid, sehingga sewaktu-waktu bisa tersepak karena kekutan dan prioritas yang diberikan ke pengguna baru.

Termasuk bagaimana mengadakan konsultasi publik seperti dinyatakan dalam pasal 47 ayat yang berbunyi ( 4) Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik. Siapa yang dimaksud publik di sini tidak jelas, apakah cukup dengan memangundang beberapa LSM dan Dinas sudahdapat dikatakan konsultasi publik, siapa pula yang akan dianggap mewakili petani pada konsultasi publik. Bukankah ungkapan "water is everybody business" yang telah mendunia seharusnya menjadi pedoman bagi seluruh pihak dalam pengelolaan air.

Pengguna air di suatu sumber pasti ada urutan senioritasnya, yaitu berdasarkan sejarah mereka mulai mempergunakan air dari sumber tersebut, urutan yang seyogyanya menjadi dasar pemilikan hak guna, artinya siapa lebih dulu menggunakan dia yang mendapat prioritas pertama menggunakan air tanpa mengindahkan untuk apa penggunaan itu. Hak guna baru hanya dapat diberikan apabila masih ada sisa debit yang belum dikeluarkan hak gunanya. Kalau tidak pengguna baru hanya diberikan hak guna di musim hujan ketika air melimpah atau pengguna baru baik sendiri-sendiri maupun melaui kelompok mendirikan bendungan untuk menampung air lebih di musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau.

Hak guna yang diperkenalkan Pemerintah di dalam UU No.7 akan mempengaruhi penggunaan air dari sumbernya, sayang UU tersebut tidak cukup menguraikan mekanisme pemberian Hak Guna yang dimaksud. Hampir semua sumber air terutama sungai meskipun tidak mengikuti suatu peranturan tertentu sudah habis teralokasi terutama pada musim kemarau.Tidak jelas bagaimana Pemerintah yang diberi hak untuk mengeluarkan Hak Guna akan mengatur pemberian hak tersebut yang sebenarnya sudah habis teralokasi.

Hak guna dari sumber alamiah harus dibedakan dengan hak guna di sumber air buatan, kalau air di sumber alamiah merupakan kurnia Tuhan adalah milik publik, di waduk air merupakan hasil usaha sehingga hak gunanya menjadi milik pembangun waduk atau bendungan. Hak guna yang dikeluarkan dari sumber alamiah harus ditukar dengan kewajiban, sebab tampa kewajiban dari mana Pemerintah menarik biaya pemeliharaan watershed dan biaya pengawasan kualitas air. Adanya kewajiban juga dapat dipakai sebagai bukti seseorang mempunyai hak.

                                                                        ***

Sejak lima tahun belakangan, Sulawesi Tenggara kebanjiran investor nikel. Namun, semuanya terkesan pengusaha kelas teri. Pasalnya, areal konsesi yang diminta kecil-kecil, dari 200 sampai 500 hektar. Bayangkan konsesi PT Inco (Kanada) di provinsi ini 63.000 hektar, PT Aneka Tambang Tbk (BUMN) 8.200 hektar, belum termasuk Pulau Bahubulu 17.000 hektar yang masih tahap eksplorasi.Namun, para pejabat setempat (baca: bupati dan kepala dinas pertambangan) menyambut para investor ini dengan segenap keramahtamahan. Mereka dianggap orang penting yang harus dijunjung tinggi. Maklum, para investor tampak sangat dermawan, bagai Santa Klaus di mata para pejabat tersebut.

Negosiasi untuk mendapatkan konsesi lahan nikel atau kuasa pertambangan (KP) dikondisikan agar dilakukan di Jakarta. Di kota inilah, seperti dituturkan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Ir Muhammad Hakku Wahab dalam perjalanan bersama Gubernur Nur Alam dan Kompas di Kabaena (Kamis, 20 Maret 2008), para investor atau kacungnya menghambur umpan, mulai dari mobil mewah untuk dipakai selama ”dinas” di Jakarta, hotel mewah, wanita cantik, dan tentu saja uang.

Dalam suasana pertemanan ekstra akrab itu, KP nikel akhirnya lebih mudah diperoleh ketimbang membalikkan tangan. Tak heran jika lokasi KP di Sultra saat ini begitu menjamur di hampir semua 10 kabupaten dan dua kota.

Kabupaten Konawe Utara lebih mencolok. Di kabupaten baru itu terdapat lebih dari 100 KP. ”Lebih luas izin KP yang diterbitkan dari keseluruhan luas kabupaten itu sendiri,” kata Kepala Subdinas Pertambangan Umum Dinas Pertambangan dan Energi Sultra Burhanuddin.

Penerbitan KP/ IUP yang tak terkendali merupakan buah dari otonomi yang diberlakukan di kabupaten/kota. Dengan kewenangan yang luas, para kepala daerah bisa menjual potensi apa saja yang dimiliki daerahnya kendati dengan harga murah. Yang penting kegiatan itu menguntungkan pribadi, kelompok, dan bisa meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Gejala penyalahgunaan kewenangan sehingga lokasi KP nikel begitu menjamur dan tumpang tindih menarik perhatian Gubernur Nur Alam. ”Kami sedang kaji kemungkinan penertiban KP. Kalau perlu kami cabut izin-izin yang tak layak,” katanya.

Nur Alam yang menjabat Gubernur Sultra 18 Februari 2008 menyatakan sangat mendukung kegiatan investasi pertambangan nikel di daerahnya. Syaratnya ialah investor harus membangun pabrik pengolahan, bukan sekadar menggali lalu mengekspor tanah yang mengandung nikel.

Pembangunan industri akan lebih banyak menyerap tenaga kerja dan menciptakan pusat pertumbuhan baru di pedesaan penghasil nikel. Nur Alam juga menghendaki agar pihak investor melakukan reinvestasi di Sultra dari keuntungan yang diraup. Bila pembangunan industri dan reinvestasi tidak dilakukan investor, Sultra bakal mengalami malapetaka besar. ”Setelah investor pergi meninggalkan lahan rusak, tinggallah rakyat yang sengsara karena lahannya tak layak lagi ditanami,” katanya.
Apa yang dikhawatirkan Gubernur Alam mulai muncul dan terasa di Kabaena, pulau berpenduduk 23.639 jiwa di Kabupaten Bombana. Tidak tanggung-tanggung, pulau seluas 867,69 kilometer persegi itu telah dikapling menjadi 16 blok KP nikel.

Dua di antara pemilik KP itu, PT Billy Indonesia dan PT Argomorini, telah beroperasi mengeruk tanah pulau beralam pegunungan itu, lalu diangkut ke China. Warga setempat pun dibayang-bayangi penderitaan batin maupun fisik.

Warga Desa Dongkala di lokasi KP PT Billy, misalnya, kesulitan air minum selama tiga bulan pertama perusahaan itu beroperasi menggerus tanah nikel. Soalnya, lokasi penambangan terletak di kawasan hulu sumber air desa itu. ”Kami juga hanya menjadi penonton kegiatan menyendok lahan di desa kami,” tutur Habaruddin (42) di depan Gubernur Alam yang bertatap muka dengan warga sekitar penambangan nikel di Dongkala, Kabaena Timur, 20 Maret lalu.
Warga pesisir lebih terpukul sejak muncul kegiatan penambangan nikel bulan Desember 2007. Lokasi budidaya rumput laut dan kepiting milik mereka tertutup lumpur nikel.

Arifuddin (35), anggota kelompok pengelola budidaya rumput laut, tak mampu berkata-kata saat ditanya perihal usaha budidaya yang menjadi tumpuan harapan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Ia hanya memandang air laut berlumpur coklat kemerahan dengan tatapan kosong. Usaha pertambangan di mana pun selalu menyisakan masalah sosial dan lingkungan setelah kontrak berakhir dan investor pergi.

Untuk menanggulangi kerusakan lingkungan, misalnya, sesuai keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 3 November 2000, investor diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi pada bank pemerintah. Bila investor pergi dan tidak melakukan rehabilitasi terhadap lahan rusak bekas galian, pemerintah menggunakan dana itu bagi pelaksanaan rehabilitasi. Apakah ketentuan itu dipatuhi, Manajer Produksi PT Billy Slamet Mudjiono enggan berkomentar. Ia mengaku telah membangun cekdam untuk menahan erosi lumpur nikel.

Dalam Seminar Nasional & Workshop dengan tema benarkah tambang mensejahterakan digelar di Swissbel Hotel (24/6/11), kepada para peserta seminar Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, menjelaskan, hadirnya perusahaan pertambangan yang mengelola kekayaan alam Sultra belum memberikan kesejahteraan buat rakyat Sultra itu semua akibat tidak terkelolanya pertambangan didaerah ini. Perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara terindikasi belum sepenuhnya membangun infrastruktur seperti transportasi, irigasi, dan pembuangan limbah untuk kepentingan proses operasi produksinya. Karena itu menurut Gubernur sangat penting pengelolaan pertambangan yang tertatakelola dengan baik.
"Beberapa waktu lalu saya pernah Inspeksi mendadak di lokasi tambang dan apa yang terjadi di sana kerusakan lingkungan yang sangat parah tanpa ada revitalisasi lingkungan bahkan ada jembatan titian yang dioperasikan 9 perusahan tambang tanpa izin dari Menteri perhubungan. Kondisi seperti itu tentu sangat merugikan masyarakat, pemerintah dan negara," ungkap Nur Alam.
Ia memaparkan, bahwa, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan di Sultra selain mengoptimalisasikan pengelolaan potensi tambang di Sultra agar bermanfaat bagi masyarakat luas juga untuk mendorong agar pelaku Pertambangan di Sulawesi Tenggara dapat sinergis dengan pembangunan berkelanjutan dengan menerapkan pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan good pratice mining antara lain kegiatan pertambangan yang mentaati aturan yang berlaku, terencana dengan baik. Menerapkan teknologi yang sesuai berlandaskan pada evektivitas dan efisiensi, melaksanakan konservasi bahan galian serta mengendalikan dan memelihara fungsi lingkungan.
"Jika hasil-hasil tambang dioptimalkan maka akan membawa manfaat dengan target dan sasaran bisa dicapai seperti penurunan angka kemiskinan yang bisa mencapai 2,5 persen, penyerapan tenaga kerja bisa mencapai 1,5 juta penduduk, PDRB perkapita bisa mencapai Rp 57,9 juta dan perbaikan sarana infrastruktur jalan bisa mencapai 20 ribu kilometer serta sasaran pembangunan lainnya," tukas Gubernur saat menjadi pemateri seminar yang diselengarakan oleh Asosiasi Mikoriza Indonesia (AMI) cabang Sultra kerjasama Ikatan Alumni Universitas Haluoleo (Ika- Unhalu).
Seminar di hadiri oleh Staf Ahli Menteri Kehutanan Ir Soetrisno,MM. Seameo Biotrop Fahutan IPB Dr. Ir Irdika Mansur M.For.Sc Tatang Sabaruddin Direktur Pembinaan dan Program Minerba energi sumber daya mineral (ESDM) lingkungan hidup serta peserta seminar dari LSM lingkungan, BEM serta praktisi lingkungan dari berbagai perguruan tinggi di Sulawesi Tenggara.***


Carut Marut Tambang Sultra dalam Catatan Jurnalis Lingkungan (Bagian 2)

$
0
0
Salah satu aktifitas pertambangan di Sulawesi Tenggara. foto: Yoshasrul

Amarah-Amarah yang Meledak

Kemarahan warga sudah diubun-ubun. Ibarat bisul matang akhirnya pecah juga. Inilah yang terjadi Selasa (12/3/2013) menjelang siang, sekelompok orang bergerak penuh kemarahan menuju areal tambang PT Jagad Rayatama di Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan. Jumlahnya puluhan orang. Mereka membawa aneka senjata tajam, parang, badik, busur  dan batu. Saat tiba mereka langsung menyebar diri menyasar orang-orang yang dicari. Salah satu menjadi sasaran adalah masjid milik perusahaan. Di sana  ada belas orang tengah beristarahat, dan sebagian bersiap shalat.

“Teman-teman kami tengah beristrahat di masjid, sebagai mereka melaksanakan shalat dan sebagian menunggu perwakilan massa melakukan pembahasan verifikasi tanah, tiba-tiba orang-orang itu datang. Tanpa tanya langsung menyerang,”kata Amirulah Polingai.

Amirulah Polingai sendiri menjadi salah satu perwakilan massa dan saat pertemuan berjalan penyerangan terjadi. Lurah Palangga yang menjadi saksi peristiwa membenarkan adanya penyerangan oleh kelompok Luter Manus, saat tengah membahas soal verifikasi lahan rumpun keluarga Polingai yang dihadiri aparat lurah dan kepolisian.

"Saat dilakukan verifikasi lahan, sejumlah orang datang melakukan penyerangan. Warga yang tengah beristrahat di masjid kaget dan melakukan perlawanan balik pada para penyerang,"kata Adi Yusuf Tamburaka, Lurah Palangga, yang saat kejadian ikut dalam tim verifikasi lahan. Adi Yusuf ditunjuk sebagai ketua tim verifikasi oleh perwakilan massa pemilik lahan dan disaksikan oleh Kapolres Konsel dan perusda serta PT Jagat Rayatama dalam kapasitasnya sebagai pemerintah. Ia menggantikkan Camat Palangga,Irwansyah Silondae yang memilih kabur tanpa alasan.

Dari arena pertemuan itu Amirulah Polingai mendapat bisikan dari rekannya jika sekelompok massa lain datang ke areal tambang. Merasa ada firasat buruk  Amirulah Polingai meninggalkan arena pertemuan dan bergegas ke masjid tempat rekan-rekannya berkumpul. Jarak masjid dan lokasi pertemuan tak seberapa jauh, membuat Amirulah Polingai dengan cepat tiba. “Saat tiba saya melihat kelompok massa berteriak-teriak. “Saya sempat bertanya, ini ada apa? Tapi belum selesai bicara batu sudah mendarat di kepala saya hingga berdarah,”kata Amirulah Polingai. Massa yang beringas melempari Amirulah Polingai Cs, dan menyerang dengan senjata tajam.

Akibatnya, perkelahian dengan menggunakan senjata tajam tidak dapat terhindarkan. Dari bentrok fisik itu, korban di kedua belah pihak pun berjatuhan. Korban luka masing-masing Luter terkena sabetan parang di bagian leher, perut dan punggung. Amirulah Polingai, terkena sabetan parang di bagian kepala dan juga ada Hery yang terkena lemparan batu dan sabetan parang.

Perkelahian tersebut baru teratasi setelah kehadiran aparat kepolisian, termasuk perwakilan dari kedua kelompok yang berselisih saling mengamankan.

Pertikaian dua kelompok warga yang menduduki lahan pertambangan PT Jagad Rayatama di Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara itu diakibatkan oleh saling klaim kepemilikan lahan antar dua kelompok tersebut.
Kapolres Konawe Selatan, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anjar Wicaksana SIK mengungkapkan, bentrok fisik dengan menggunakan senjata tajam itu dipicu saling klaim kepemilikan lahan di lokasi lahan tambang di Kecamatan Palangga dan Palangga Selatan. Menurutnya, kelompok warga yang ribut itu antara lain rumpun Polingai, Ladika, Manus, Mujar, Porundu, Latoro, Ibrahim dengan beberapa warga yang didampingi lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Masyarakat Palangga Menggungat.

"Yang bentrok adalah rumpun keluarga Manus yang didampingi LSM Aliansi Masyarakat Palangga Menggungat. Korbannya ada yang dirujuk di salah satu RS di Kendari, dan lainnya di RS kabupaten dan kecamatan," terang Anjar saat dihubungi, Selasa (12/3/2013).

Kronologi bentrokan dua kelompok warga tersebut, lanjut Kapolres Konawe Selatan, berawal ketika kelompok Manus hendak mengusir kelompok LSM pendamping. "Lantaran pengusiran itu tidak diterima baik oleh LSM pendamping, jadi bentrok pun terjadi. Polisi yang ada saat itu sempat melerai, tetapi massa lebih banyak," tuturnya.

Lanjut Kapolres, polisi sudah melakukan mediasi dengan mempertemukan dua kelompok yang bertikai dan melakukan verifikasi lahan. Namun ada satu kelompok sudah emosi karena mendengar informasi bahwa hanya ada beberapa kelompok yang telah diverifikasi, dan inilah yang memicu perkelahian. "Anggota sudah dikerahkan untuk melakukan pengamanan pasca-bentrok," ucapnya.

Dia menambahkan, untuk menjaga agar tidak terjadi konflik berkepanjangan, aparat kepolisian bersama pemerintah daerah, kecamatan, desa, BPN dan DPRD akan turun ke lokasi tempat Kejadian perkara. Di lokasi itu akan dilakukan pertemuan, termasuk verifikasi atas kepemilikan lahan.

Pasca-kejadian itu, saat ini polisi sementara melakukan penyelidikan, dan belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. "Pastinya polisi juga akan menyelidiki bentrok ini," katanya.

Selain itu, pihaknya juga menurunkan satu peleton Brimob, satu peleton Shabara dan personel lain dari Polres Konawe Selatan di lokasi kejadian. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi peristiwa bentrokan agar tidak terulang dan meluas ke wilayah lainnya.

Amirulah Polingai, korban penyerangan justeru menjadi tersangka.Inilah yang dialami Kunta CS. Saat berunjuk rasa dan sekaligus melapor korban  kunta justeru di tahan aparat Polda Sultra. Bersama Heri rekannya, Kunta dijebloskan ke sel tahanan polda dengan alasan  menyerang  Luter. Dua alat bukti dituduhkan pada Kunta, yakni berdasarkan pantauan CCTV dan  saksi-saksi. 

Namun menurut warga, pertikaian yang berujung bentrok ini tak lepas dari andil Camat Palangga Irwansyah Silondae. "Pemicu pertikaian ini muncul karena camat telah memberikan legitimasi  yang salah atas tanah. Jadi kalau ada pihak yang   paling bertanggung jawab atas seluruh rangkaian pertikaian di lahan tambang  ini maka dialah Camat Palangga,","kata Dedi.

Konflik tambang ini memang terbilang rumit. Dulunya sebagian besar tanah di Palangga hanya lahan kosong yang dipakai untuk berkebun dan menggembala ternak oleh beberapa rumpun keluarga termasuk rumpun Polingai. Tanah yang tandus sulit ditumbuhi pepohonan produktif, membuat warga tak betah. Mereka memilih berdiam ke tempat-tempat strategis, yang kemudian membentuk koloni pemukiman di pinggiran jalan induk kini. Warga tak pernah tau jika tanah moyang mereka menyimpan ‘harta karun’ besar berupa ore nikel.

Barulah sejak boomingtambang di wilayah mereka, rumpun keluarga polingai mulai menggugat atas dasar klaim kepemilikan tanah leluhur.   Saling gugat pun terjadi antara perusahaan dan keluarga  polingai  dan setiap kali musyawarah selalu saja tidak menemukan kata sepakat soal pendapatan royalti.

Perusahaan mengklaim sudah mengakomodir seluruh rumpun keluarga di wilayah konsesinya, termasuk Tujuh  rumpun keluarga Polingai. Bahkan telah memberikan royalti sebesar 800 juta setiap kali pengapalan yang diserahkan kepada camat selaku pemerintah setempat untuk dibagikan kepada para pemilik lahan. Dan selama kurun setahun perusahaan PT Jagad Raya Tama telah melakukan pengiriman ore sebanyak 11 kali pengapalan dengan tujuan negeri tirai bambu Cina.

"Jika aktifitas kerja digenjot, setiap bulan perusahaan bisa dua kali pengapalan,"ujar seorang sumber resmi.  Andil camat palangga dan sejumlah birokrasi pemkab Konsel disebut-sebut berperan besar dalam ‘bagi-bagi’ royalti PT Jagad Rayatama ini. Terendus pula jika pembagian royalty yang diserahkan perusahaan melalui camat ini dianggap beraroma kurang sedap dan dapat dikategorikn sebagai gratifikasi tambang, dan belakangan sempat diributkan sejumlah pihak. 

Karena urung mendapat royalti pihak keluarga Polingai kembali menawarkan   agar perusahaan melakukan verifikasi  lahan. Namun tak digubris perusahaan. Warga pun mulai bertindak keras. Dengan menghunus berbagai jenis senjata tajam  rumpun keluarga Polingai di Kecamatan Palangga dan Palangga Selatan, Kabupaten Konawe Selatan  bersatu memblokir akses jalan tambang di sejumlah lokasi. Mereka juga tak segan memburu sejumlah kendaraan operasional perusahaan yang melakukan aktivitas produksi. Beberapa kendaraan yang mencoba memaksa melewati jalan produksi perusahaan  dilempari oleh warga. Akibatnya sejumlah karyawan dan kendaraan operasional memilih kabur dan menyelamatkan diri. Warga kemudian melakukan blokade akses keluar masuk perusahaan dengan menggunakan bongkahan batu dan balok kayu.

Sejumlah aparat kepolisian yang berada dilokasi kejadian tidak bisa berbuat banyak menghadapi aksi warga. Syamsuddin,  warga Palangga mengaku aksi dilakukan untuk menuntut pihak perusahaan PT Jagad Rayatama segera membayar kompensasi ganti rugi atas lahan warga yang dijadikan lokasi penambangan.

Untuk menghindari jatuhnya korban, pihak PT  Jagad Rayatama terpaksa menghentikan aktivitas panambangan nikel mereka dan dan memilih memulangkan karyawan lebih awal.  Seperti dijelaskan, Suparman, seorang karyawan PT Jagad Rayatama. Pihak perusahaan sendiri mengaku telah membayar biaya kompensasi atas lahan warga yang mereka eksploitasi kepada warga. Perihal dana kompensasi itu tidak sampai ke tangan warga pihak perusahaan mengaku tidak bertanggungjawab lagi. Pasalnya dana tersebut telah disalurkan melalui pemerintah setempat.

Tudingan keras dilayangkan Andre Darmawan, pengacara Aliansi Masyarakat Palangga Menggugat pasca bentrokan berdarah antara kelompok pemilik lahan. Perusahaan dituding berada di balik bentrokan yang memakan korban luka-luka Selasa lalu itu. Tudingan itu cukup beralasan, pasalnya Luther Manud, salah satu pelaku penyerangan diduga adalah karyawan PT Jagad Rayatama. “Perusahaan patut diduga berada di balik penyerangan Aliansi Masyarakat Palangga karena orang-orang perusahaan ada dalam kejadian itu,”tuding Andre Darmawan.

Kontan saja tudingan Andre Tersebut itu sempat ‘memerahkan telinga’ petinggi perusahaan. “Yang menyerang siapa? Kalau faktanya ada pertikaian karena murni rebutan lahan. lha apa kaitannya dengan perusahaan? Yang jelas Kami tidak pernah tau, kalau tujuh rumpun itu akan datang ke lokasi melakukan penyerangan, artinya peristiwa di luar pengetahuan perusahaan. Sekali lagi kami tidak tahu menahu tindakan tujuh rumpun. Dan kami sangat menyesalkan peristiwa itu,”tega Joni Asmoko kuasa hukum PT Jagad Rayatama saat dihubungi media Kendari Expres. Pihak perusahaan mengaku sangat prihatin dengan kejadian itu dan itu di luar dari perkiraan. Selama ini perusaahaan sudah mengakomodir semua kepentingan yang fasilitasi oleh camat dan asisten satu Konsel.

Bagi perusahaan yang penting semua pihak terutama rumpun pemilik lahan bisa mmenunjukkan identitas status tanah itu tidak masalah. LagI pula tahapan verifikasi soal status tanah sudah dilakukan Pemda setempat.
Dugaan gratifikasi tambang yang dilakukan Camat Palangga dan PT Jagat Rayatama masuk ke ranah politik dewan. DPRD Konsel langsung menggelar rapat denga pendapat terkait dua poin tuntutan Aliansi Masyarakat Palangga Menggugat, yakni, pembagian konpensasi tambang dengan kehadiran PT Jagad rayatama dalam berinvestasi di wilayah kecamatan.

Dugaan adanya gratifikasi dalam pengelolaan tambang di wilayah palangga dan palangga selatan. Rapat yang dihadiri Ketua DPRD Konsel, Anshari taawulo dan sejumlah anggota dewan masing-masing dari komisi I dan Komisi III dihadiri Sekda Konsel, Kabag Pertambangan,  kepala BLH, Kepala KSDA, Kades Watumerembe dan Kades Kiaea.

Dari pertemuan itu, DPRD akhirnya sepakat membentuk panitia khusus terkait dugaan gratifikasi tambang yang dilakukan Camat Palangga dan PT Jagat Rayatama. Dan menedesak pemda segera membentuk tim terpadu untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi lahan di wilayah IUP PT Jagad Rayatama terkait kepemilikan lahan. DPRD juga meminta pemda Konsel agar menghentikan sementara seluruh kegiatan di areal tanah sengketa seluas 400 H demi kenyamanan kegiatan usaha PT Jagad Rayatama.

Jauh sebelumnya di tahun 2011, perlawanan masyarakat Palangga dan Tinanggea, Konawe Selatan yang memprotes kehadiran tambang menjadi topik paling hangat di media massa local kala itu. Masyarakat menyandera dan melawan tirani perusahaan PT Ifishdeco, sebuah perusahaan yang 15 tahun menguasai tanah-tanah leluhur masyarakat lalonggasu. Perlawanan yang tidak didukung pemerintah ini bahkan berbuah intimidasi dari alat-alat Negara seperti polisi dan TNI yang membekap perusahaan atas nama investasi. Sejarah panjang dari peelawanan masyarakat yang menganggap tanah-tanah yang dikuasai perusahaan tersebut adalah tanah adat yang telah turun temurun dijaga dan dirawat masyarakat. Namun Tirani kekuasaan pemerintah kabupaten merebut hak-hak masyarakat di sana.

Kondisi yang kurang lebih sama terjadi di Kabupaten Bombana. Wilayah kekuasaan kerajaan moronene yang diakui Negara bertahun-tahun menjadi pertikaian berdarah antara masyarakat ada dan perusahaan tambang, meski akhirnya masyarakat dipecah belah dengan dan harus takluk dengan para pemodal yang datang dengan iming-iming pembagian hasil besar antara perusahaan  dan masyarakat pemilik tanah.

Di pulau kabaena, tepatnya di Desa Pongkalaero, tanah mokole yang membujur hingga ke perbatasan wilayah talaga  Buton menjadi konflik serius antara perusahaan dan masyarakat adat setempat. Bukti berupa tanaman jangka panjang seperti kelapa dan sejumlah kuburan tidak berarti apa-apa bagi pemerintah dan perusahaan. Masyarakat adat diperhadapkan dengan hukum Negara yang formil. Tanah dan air yang menjadi tumpuan harapan masyarakat  adat dirampas dan terusir dari tanah-tanah leluhur mereka karena takut ancaman moncong senjata.

Masyarakat adat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun nilai kerugian materil dan spritual atas penerapan politik pembangunan yang selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen utama dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan hak politik masyarakat adat. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bombana merupakan surga bagi investor pertambangan. Daerah yang diperut buminya mengandung mineral yang melimpah ruah, tapi sangat sedikit dinikmati oleh masyarakat local. Sebagian besar penduduk asli moronene sama sekali hanya menjadi penonton di negerinya sendiri. Klaim tanah adat mereka pun tergusur dengan kehadiran orang-orang pendatang  dan para orang-orang berduit.

Di sejarahnya, orang moronene merupakan salah satu penduduk asli yang pertama mendiami daratan Sulawesi tenggara, disamping orang tolaki. Moronene diambil dari lima nama jenis tumbuhan yang menyerupai pohon resam, dengan cirri-ciri, kulit batangnya dapat dikupas dan dijadikan tali, daunnya digunakan sebagai pembungkus nasi, atau  sejenis kue yang disebut lemper.

Secara etimologis istilah moronene terdiri dari dua suku kata yakni moro dan nene. Moro artinya serupa atau mirip, sedangkan nene berarti pohon resam. Dengan demikian moronene berarti sejenis pohon resam. Sebagaimana pohon resam biasa hidup mengeelompok di daerah subur, sedangkan dilembah atau dipinggiran sungai yang kaya akan sumber air, demikian penggunaan nama moronene melambangkan peradaban leluhur moronene yang hidup mengelompok sebagai peramu, pemburu dan petani di daerah-daerah subur dan aman dari gangguan musuh.

Dilihat dari ciri-ciri fisiknya, suku moronene dapat diidentifikasi sebagai suku bangsa yang tergolong dalam rumpun melayu tua, yang datang dari hindia belakang pada jaman prasejarah atau pada jaman batu muda kira-kira 2000 sebelum masehi.

Dewasa ini orang moronene tinggal menyebar disebagian wilayahTinanggea di kabupaten Konawe selatan hingga watubangga di kabupaten kolaka, dengan batas mulai dari pu’u olo (pantai sebelah timur) sampai ke pantai sebelah barat (teluk bone), yaitu dari watubangga  yang terletak di sebelah utara sungai Toari hingga sungai oko oko (daerah tangketada). Dalam kawasan inilah yang menjadi wilayah ulayat orang moroneene. Secara administrative pemukiman orang moronene menyebar di tujuh wilayah kecamatan, yakni  enam kecamatan di wilayah kabupaten buton, dan satu kecamatan di wilayah Kabupaten Kolaka. Keenam kecamatan dimaksud adalah; kecamatan kabaena dengan ibukota teomokole, kecamatan kabaena timur dengan ibukota dongkala, kecamatan rumbia di kasipute, kecamatan polea dengan ibukota boepinang, kecamatan poleng timur dengan ibukota bambaea, kecamatan rarowatu di lora dan watubangga di watubangga.

Ke tujuh kecamatan tersebut dahulu merupakan  wilayah kerajaan  moronene yang luasnya mencapai 3.303,67 KM2. Di wilayah tersebut sekarang terdapat 64 buah desa, 10 kelurahan dan 2 perkampungan (Laea Hukaea).

Dalam kepustakaan antropologi, sebagaimana ditulis Sarlan Adi Jaya, seorang dosen antropologi Universitas Haluoleo,  penduduk asli adalah orang yang secara turun temurun, dari generasi ke generasi tingga di dalam atau di sekitar  suatu kawasan hutan dan memanfaatkan kawasan serta sumber daya hutan tersebut secara tradisional. Salah satu criteria yang paling penting dalam pembuktian hubungan antara penduduk asli dan kawasan hutan yang menjadi tempat tinggal dan usahanya adalah “historical claim”, yakni klaim atas daerah-daerah yang dikuasai dan dimanfaatkan secara turun temurun. Klaim tersebut menuntut  penelusuran secjarah kawasan maupun sejarah kelompok penduduk asli tersebut. Penelusuran sejarah kawasan hutan dan penduduk asli akan memberikan bukti keabsahan klaim penduduk asli terhadap suatu kawasan hutan. Yang dimaksud penelusuran sejarah adalah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan oleh penduduk asli yang didukung oleh bukti, baik bukti alam maupun bukti buatan.

Maria sumarjono (1999 dalam sirait, dkk, 2000) mengemukakan bahwa criteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan penduduk asli tersebut  adalah: adanya masyarakat hokum adat yang memenuhi cirri-ciri tertentu sebagai hak ulayat, adanya tanah/ wilayah  dengan batas-batas tertentu sebagai liebenstraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat dan adanya kewenangan masyarakat hokum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hokum.

         
Dengan adanya criteria tersebut, pembuktian terhadap kebenaran klaim penduduk asli terhadap suatu kawasan hutan tidak hanya ditentukan oleh ada tidaknya pemukiman penduduk asli di dalam kawasan hutan yang diklaim melainkan ditentukan oleh bukti-bukti seperti kuburan dan tanaman. Kuburan membuktikan perna ada pemukiman di kawasan tersebut. Tanaman hasil budidaya menjadi bukti yang mendukung riwayat pemanfaatan lahan.

Walaupun kawasan perkampungan tersebut tekah lama ditinggalkan, hak sebagai penduduk asli tidak dengan sendirinya hilang tetapi tetap  melekat. Jadi meskipun mereka tidak lagi tinggal di dalam kawasan tersebut  tetapi  masih melanjutkan usahannya di sana , hak tersebut tetap ada. Bila kawasan tersebut lama ditinggalkan oleh penduduk asli, yang penting masih terdapat tanda-tanda alam maupun buatan yang menunjukkan bahwa di kawasan tersebut pernah dimanfaatkan penduduk asli. Dalam kasus orang moronene punya tanda, kalau ternyata mereka meninggalkan kawasan tersebut, itu soal lain seperti dijelaskan sebelumnya. 

Dengan mencermati argumentasi  teoritis tersebut, naka telah cukup jelas status orang moronene sebagai penduduk asli dan klaim mereka atas kawasan dan sumber daya alam. Walaupun dalam catatan  sejarah orang moronene di laea huaea telah beberapa kali meninggalkan kawasan perkampungan mereka. Sedangkan gugatan dan keraguan yang datang dari berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah merupakan sesuatu yang tidak beralasan dan tidak memiliki dasar argumentasi yang mendasar.
Penegasan hak-hak penduduk asli orang moronene atas kawasan dan sumber daya alam, dengan demikian mengandung maksud tertentu “invesible hand”. Tindakan pengusiran secara paksa yang teklah dilakukan 2 kali operasi yang diberinama sapu jagat dan sekali operasi tanpa nama—tanpa alaasan yang jelas dan mengindahkan kaidah-kaidah hokum nasional dan internasional, semakin membuktikan bahwa anggaapan di atas memang benar adanya.
Di bidang ekonomi ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak pemerintah menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berbagai peraturan perundangan sektoral dikeluarkan oleh Rejim Otoriter-Militeristik Soeharto, termasuk di dalamnya UU Pertambangan, sebagai instrumen utama untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat. Dengan menggunakan UU Pertambangan ini juga, kemudian pengusahaan atas wilayah-wilayah yang berpotensi untuk eksploitasi pertambangan diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya dan swasta asing yang berhasil membangun akses dengan para elit politik, khususnya Presiden .
Politik sumberdaya alam yang sentralistik, bertumpu pada pemerintah, represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan konflik atas sumberdaya alam berdimensi kekerasan antara masyarakat adat dengan penyelenggara negara dan pemilik modal yang melibatkan aparat pertahanan dan keamanan. Dari konflik vertikal seperti ini tercatat banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami oleh penggiat dan pejuang penegakan hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi duduk damai dan pengambil-alihan “base camp” sampai penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan merusak ekosistem yang menghidupi mereka selalu berujung pada tuduhan anti-pembangunan dan kriminalisasi.
Pengalaman penderitaan masyarakat adat telah menimbulkan kesadaran baru bahwa kebijakan pembangunan dan hukum yang diproduksi oleh negara selama lebih dari 30 tahun terakhir sama sekali tidak untuk melindungi masyarakat adat, tetapi hanya untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan elit politik dan para pemilik modal. Di sini sangat jelas ada 2 sumber ketidak-adilan hukum dan kebijakan pembangunan terhadap masyarakat adat. Pertama, kebijakan-kebijakan pembangunan dan produk hukum yang mengawalnya sudah bias dengan semangat penyeragaman, bias formalitas, dan bias hukum positif, yang secara kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang dikenal dalam beragam sistem sosial-budaya masyarakat adat yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Ke dua, berbagai produk hukum yang mengatur atau berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat dibuat saling kontradiktif satu sama lain, atau dibuat mengambang (tidak jelas), sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum yang bisa memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dengan kondisi ketidak-pastian hukum ini, elit kekuasaan bisa melakukan intervensi kekuasaan terhadap proses-proses hukum apabila proses-proses ini dianggap mengganggu kepentingan dirinya dan kroni-kroninya.
Pengembalian kedaulatan masyarakat adat sebagai persekutuan politik untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi, hukum dan budayanya, termasuk kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan tanah, kekayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Untuk menjamin hal ini maka AMAN akan memperjuangkan adanya undang-undang yang mengatur tentang kedudukan hak politik, hukum dan sosial-budaya dari masyarakat adat.
 Berbagai undang-undang yang mengingkari kedaulatan masyarakat adat harus dicabut atau diubah. Konsep Hak Menguasai Negara, termasuk yang melandasi UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, harus ditinjau ulang berdasarkan pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat. Pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat atas sumberdaya alam harus dijamin dan dilindungi dalam undang-undang yang baru. Dalam proses pembuatan Undang-undang tersebut, masyarakat adat harus mendapat jaminan sepenuhnya sebagai salah satu hak warga negara untuk berpartisipasi.
Perundingan ulang atas penggunaan tanah dan kekayaan alam yang berdasarkan hak asal-usul/hak tradisional yang dijamin oleh UUD 1945 dan amandemennya3 merupakan “kepunyaan” masyarakat adat (lebih tepatnya dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat adat sebagai hak asal usul/hak tradisional) yang selama ini “dipakai” untuk berbagai proyek-proyek pemerintah dan pengusaha, termasuk diantaranya proyekpertambangan. Berbagai rencana proyek baru di dalam/di atas tanah dengan menggunakan kekayaan alam masyarakat adat harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat.
Para pemegang kekuasaan Negara, baik pihak legislatif, eksekutif dan yudikatif, wajib membuat suatu penyelesaian yang arif dan bijaksana dalam rangka menghormati hak menentukan nasib sendiri bagi komunitas-komunitas masyarakat adat di dalam negara Republik Indonesia. Negara wajib melakukan rehabilitasi atas kedaulatan dan hak-hak masyarakat adat yang selama ini telah dilanggar.
Pengalaman lainnya yang juga menyedihkan bagi masyarakat adat adalah bahwa program comunity development ini justru digunakan oleh perusahaan pertambangan untuk memecah-belah masyarakat, khususnya antara masyarakat adat dengan penduduk pendatang yang berdomisili sementara. Dalam hal ini sasaran program comunity development tidak membedakan antara masyarakat adat yang memiliki wilayah adat secara turun-temurun dengan penduduk pendatang yang tidak memiliki hak adat/hak asal-usul. Dengan pendekatan yang seperti ini masyarakat adat merasa diperlakukan tidak adil. Sementara penduduk pendatang ini justru sangat mendukung comunity development karena tidak merasa memiliki atas wilayah operasi tambang, bahkan sebagian di antara mereka hanya berdomisili sementara.
Politik pecah-belah ini secara langsung mempengaruhi perjuangan masyarakat adat untuk menegakkan hak-haknya atas tanah adat karena masyarakat adat justru dihadapkan dengan penduduk pendatang yang mendapat keuntungan dari program comunity development perusahaan tambang. Dalam kondisi masyarakat adat sudah dihadapkan dengan penduduk pendatang maka biasanya masyarakat adat akan sangat hati-hati karena bisa berakibat fatal kepada kedua belah pihak. Tetapi kalau cara-cara seperti ini diteruskan maka kesabaran masyarakat adat juga akan sulit dikendalikan dan bisa menimbulkan konflik horisontal yang akan sulit diselesaikan dan akan membawa kerugian bagi semua pihak dalam jangka panjang.
Hal aneh lainnya yang juga dipantau oleh masyarakat adat dalam pelaksanaan program comunity development adalah adanya pengeluaran yang cukup besar dari dana comunity development ini sebagai sumbangan kepada berbagai organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan dan juga tidak menjadi penerima dampak negatif kerusakan lingkungan. Dalam beberapa kejadian, OKP-OKP yang mendapat sumbangan dari perusahaan ini sering muncul mengintimidasi masyarakat adat yang menuntut hak-haknya kepada perusahaan.
Kewajiban program comunity development bagi perusahaan pertambangan ini juga telah membuka peluang bagi munculnya banyak LSM calo yang senang mengatas-namakan masyarakat adat untuk bisa mendapatkan dana dari perusahaan. LSM-LSM seperti ini banyak diantaranya yang tidak dikenal dan tidak dipercaya oleh masyarakat adat. Dalam beberapa kasus, walaupun LSM-LSM seperti ini ditolak oleh masyarakat adat, tetapi perusahaan-perusahaan pertambangan sangat senang memeliharanya karena sangat berguna untuk tujuan “menghijaukan” perusahaan. Ironisnya, sementara kemiskinan dan ketertindasan masyarakat adat yang menjadi korban pertambangan terus berlangsung, kemewahan dan keangkuhan justru dipertontokan oleh pekerja LSM-LSM seperti ini yang membuat masyarakat adat semakin terpojok.
Dengan pengalaman-pengalaman seperti ini maka kehadiran program comunity development di tengah-tengah masyarakat adat justru malah memperparah penindasan bagi masyarakat adat. Hal ini juga membuktikan bahwa pada umumnya perusahaan-perusahaan pertambangan belum menunjukkan penghormatan terhadap masyarakat adat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Proses mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum secara nasional terhadap hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya mineral membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten perlu mengembangkan instrumen-instrumen baru untuk melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat adat di daerahnya, salah satunya dengan mewajibkan perusahaan-perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi selama ini (berdasarkan ijin dari pemerintah pusat) untuk berunding dengan masyarakat adat secara langsung mencari formulasi baru kemitraan, antara lain yang penting: menata ulang alokasi lahan-lahan di dalam wilayah adat yang boleh dan yang tidak boleh ditambang (baik karena pertimbangan kultural/religius maupun ekologis), rehabilitasi kerusakan lingkungan dan pampasan atas penindasan yang dialami masyarakat adat selama ini, pembagian keuntungan adil atas produksi pertambangan  (bisa berupa alokasi saham sesuai dengan potensi bahan tambang, bagi hasil, royalty.
Bagi perusahaan-perusahaan baru pemeritah diwajibkan melaksanakan prinsip “prior informed consent”, artinya perusahaan harus memberi informasi selengkap-lengkapnya baik tentang perusahaannya maupun rencana usaha pertambangan kepada masyarakat adat untuk mendapatkan persetujuan dan merundingkan kesepakatan-kesepakatan kerjasama, antara lain yang terpenting: menentukan alokasi lahan-lahan di dalam wilayah adat yang boleh dan yang tidak boleh ditambang (baik karena pertimbangan kultural/religius maupun ekologis), pembagian keuntungan yang adil atas produksi pertambangan (bisa berupa alokasi saham sesuai dengan potensi bahan tambang, bagi hasil berdasarkan volume produksi maupun nilai jual, royalti.
                                   

Belajar dari Keramahan Petugas RS Wahidin Makassar

$
0
0
Salah satu aktifitas di RSUD Bahteramas Sulawesi Tenggara. foto: YOSHASRUL
SULTRANEWS-Pesawat Wings Air mendarat mulus di Bandara Hasanudin Makassar. Kami bertiga (saya, isteri dan mertua perempuanku) turun dengan lega. Dari bandara kami langsung menuju Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo menggunakan taksi. Setengah jam perjalanan kami tiba di RS Wahidin. Di sana sudah menunggu seorang kerabat yang kebetulan tinggal menetap di Makassar. Dia menemani sekaligus membantu kami berurusan di rumah sakit terbaik di Provinsi Sulawesi Selatan. 


Ini kali pertama saya ke RS Wahidin, meski telah berkali-kali menginjakkan kaki di kota daeng. “Kesan pertama begitu menggoda” begitu kata iklan sebuah produk pengharum yang biasa diputar di televisi.
Menggoda memang iya, sebab RS Wahidin memberi kesan baik kepada para pasien maupun keluarga pasien. Selain bersih juga disetiap sudut dipasang sejumlah tagline wajib senyum. ” Melayani dengan hati”, “Sudahkah kita senyum hari ini” deretan kalimat ini tertulis hampir diseluruh pintu masuk RS. Begitu pula dengan para perawat dan dokter selalu murah senyum dan melayani dengan baik setiap pasien. Kondisi yang berbeda jauh dgn RS Bahteramas kendari yang wajah dokter dan perawat selalu masam.

Saya menemukan perbedaan yang cukup jauh, dari pelayanan rumah sakit di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Rumah sakit benar-benar bersih, tak ada potongan sampah yang berseliweran di lantai maupun halaman rumah sakit. Di setiap sudut,  tempat sampah tersedia dan selalu dibersihkan. Begitu juga taman-taman bunga tertata baik. Pengunjung seolah dimanjakan keindahan . Dan paling membuat saya berkesan ketika berjalan sepanjang koridor rumah sakit tak satu pun bau busuk menyengat yang tercium di sana, sirkulasi udara terjaga dengan baik tanpa bau obat maupun bau sampah. Tak seperti rumah sakit Bahteramas sepanjang rumah sakit yang tercium bau obat-obatan  dan bau sampah. Nampaknya pihak manajemen rumah sakit mempriotaskan penataan lingkungan rumah sakit dengan sangat baik.

Saat berjalan-jalan ke ruang IGD Wahidin saya menangkap kesan positif, tak seperti umumnya ruang  IGD beberapa rumah sakit di kendari, dimana pasien menumpuk, mau itu pasien kecelakaan, ibu hamil, pasien jantung berbaur menjadi satu. Bahkan,  ranjang pasien kecelakaan tampak masih dipenuhi  darah dan  ranjang itu pula yang diberikan untuk pasien diare.
Suasana di RSUD Bahteramas Sulawesi Tenggara. foto: YOSHASRUL

Di RS Wahidin, kita tak akan menemukan penumpukan pasien dalam satu ruangan. Petugas medis bergerak dengan cepat  memberi prioritas penanganan cepat para pasien. Urusan keselamatan pasien menjadi prioritas utama, dan urusan administrasi itu urusan ke dua. Berbanding terbalik dengan rumah sakit di bumi anoa, dimana urusan administrasi menjadi prioritas ketimbang  keselamatan pasien.

Di RS Wahidin, tak ada perawat yang bertugas sebagai medis. Perawat hanya difungsikan sebagai tenaga administrasi, membersihkan ruang dan menjaga pasien . Pelayanan  pasien semua ditangani tim dokter. Tenaga dokter di Wahidin memiliki tiga tingkatan, terdiri dokter coass atau dokter muda, dokter tingkat ahli madya dan dokter utama yang rata-rata sudah bergelar profesor di bidangnya. Tiga tingkatan dokter inilah yang  kemudian bekerja secara professional menangani pasien. Berbanding terbalik dengan  RS di Kendari yang hampir seluruh kegiatan medis dilakukan oleh tenaga perawat .

Pelayanan administrasi rumah sakit wahidin tak butuh waktu lama, antrian pasien terjadi sebentar saja,  baik untuk mengambil kartu pasien maupun adminsitrasi lainnya. Saya menghitung hanya ada lima sampai sepuluh menit saja menunggu, selanjutnya pasien bisa langsung ke poli perawatan. Tak ada tenaga perawat berseliweran, apalagi bermain hape.

Saya pikir tak perlu para anggota dewan maupun pemerintah Sultra melakukan studi banding jauh-jauh soal kesehatan ke  Jakarta atau luar negeri sana, cukup ke Makassar. RS di kota daeng sudah cukup baik dan professional melaksakan pelayanan kesehatan, bahkan tanpa embel-embel internasional. Seperti kata Menteri Kesehatan, rumah sakit tak perlu besar, tak pelu embel-embel internasional, cukup pelayanan yang baik, tenaga  medis yang ramah dan lingkungan rumah sakit yang bersih, pasien dan keluarga pasein pasti akan betah.

Menteri Kesehatan saat dijabat Nafsiah Mboi, Sp.A,MPH pernah  melayangkan kritikan pedas pada   konsep pembangunan RS Bahteramas yang dianggap kuno.Menurutnya, Sebagaimana ditulis Koran Harian Kendari Pos, RS tidak harus besar, namun tepenting rapi, hijau, bersih dan aksesnya mudah. “Satu ruangan ke ruangan lainnya berjauhan kayak gini. Ini kok bikin lelah, baik perawat apalagi pasiennya. Terlalu jauh koridor. Konsep RS modern itu yang utama rapi,”tukasnya kepada wartawan saat mengunjungi  RS kebanggaan Pemrov Sultra itu.

Kunjungan Menkes didampingi Gubernur Sultra Nur Alam mengelilingi ruangan dan areal RS.   Selain konsep bangunan yang dinilai kurang efektif karena letaknya  berjauhan, ia juga menyoroti banyaknya genangan air. “Ini kubangan air bisa menimbulkan jentik nyamuk. Nanti tolong diperhatikan,” ungkapnya, sambil menunjuk kubangan air bekas galian yang belum ditimbun.
RSUD Bahteramas. foto: YOSHASRUL

Seolah penasaran dengan kondisi RS Bahteramas yang sebelumnya telah ia baca melalui media, satu persatu ruang perawatan didatangi. Meski tidak terlalu banyak komentar, namun dari raut wajahnya tersirat jelas jika Menkes agak kecewa dengan kondisi RS yang diklaim bertaraf internasional. Sayangnya, ketika dicegat wartawan  mengenai hasil pantauannya, gubernur  yang kebetulan mendampingi buru-buru menjelaskan bahwa pihaknya akan segera memperbaharui sejumlah kekurangan di RS. Menkes pun tak memberi komentar  lalu berjalan menuju kendaraan dinas yang sudah disiapkan.

Sebelumnya, saat dikonfirmasi usai pelaksanaan Rakor Kesehatan di salah satu hotel, kemarin, ia mengatakan RS itu harusnya memberi efek 50 persen bagi pelayanan pasien. Jadi, mestinya hal ini prioritas, termasuk kemampuan teknis dari perawatnya. “Sebenarnya, yang membuat cepat sembuh itu adalah soal lingkungan dan sapaan manusiannya. Setelah itu kemampuan dokternya,” ujarnya, sambil menyebut hal ini disampaikannya terkait dengan pemberitaan media soal pelayanan kurang maksimal dari RS.

Olehnya itu, ia mengaku sangat menghargai pernyataan gubernur yang kembali menyadari bahwa RS besar itu tidak terlalu penting, namun paling utama soal mutunya. “Makanya, kita sarankan kalau perlu stop dulu pembangunannya. Fokus dulu pada peningkatan mutu pelayanan. Anggaran yang ada digunakan dulu meningkatkan pelayanan itu, termasuk dana BLUD untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan,” ungkapnya.

Nur Alam mengakui  pembangunan RS  baru sekitar 50 persen lebih. Dalam waktu dekat rencananya akan dilanjutkan pembangunannya. Soal konsep RS yang dianggap kuno oleh Menkes, ia punya argumen sendiri. “Lahan rumah sakit ini sangat luas, sehingga konsepnya seperti ini,” katanya.

Memang hal ini cukup beralasan, kalau patokannya kota besar seperti Jakarta, tentu tidak bisa disamakan, karena di sana lahannya sempit sehingga model membangunnya bukan menyebar tapi ke atas. Termasuk soal koridor yang panjang, memang diakui cukup jauh, namun dihubungkan dengan jalan pintas sehingga bisa efektif. “Semua ruangan saling berhubungan dengan koridor sehingga bisa lebih cepat aksesnya,” jelasnya, diamini direktur RSU Bahteramas, dr.Nurjayadin.

Kedatangan Menkes beserta jajarannya di Sultra dalam rangka kunjungan kerja, 13 dan 14 Mei 2013. Sultra merupakan provinsi ke-27 yang sudah dikunjungi. Kunjungan ke RSU Bahteramas merupakan agenda terakhir, setelah sebelumnya menggelar  rapat koordinasi dengan Dinkes kabupaten/kota se Sultra. “Ini rumah sakit bagus, sayang kalau tidak didukung dengan pelayanan yang baik,” pesan Menkes pada semua perawat sambil meninggalkan lobi RS menuju bandara.

Kritikan Menkes Nafsiah Mboi, Sp.A,MPH soal RS Bahteramas yang dinilai kuno sempat bergulir bak bola panas.  Kabag Humas Pemrov Sultra  Kusnadi angkat bicara. Melalui media massa Kendari Pos Ia menjelaskan, RS Bahteramas berada di lahan dengan luas 17 hektar. Nah, konsep bangunannya dibuat dengan saling menghubungkan antar ruang satu dengan lainnya, melalui koridor.

“Dikatakan koridor itu panjang, tapi cukup efektif karena berhubung dari ruangan satu ke lainnya. Tidak ada yang tidak berhubungan. Jadi itulah konsep bangunan yang berdiri di lahan 17 hektar dengan tujuan mengutamakan efisiensi dan efektivitas anggaran,”katanya.

Lantas bagaimana dengan kubangan air dan masih ada beberapa ruangan  yang belum finishing? RS tersebut  belum rampung keseluruhan.Masih ada beberapa bangunan dan perbaikan sarana dan prasarana yang ada. “Jadi perlu diketahui RS Bahteramas belum rampung. Jangan sampai masyarakat menilai semua sudah rampung,”tukas Kusnadi lagi.

RS Bahteramas dengan konsep Garden Hospital direncanakan akan menjadi rumah sakit umum kelas B dengan kapasitas 500 tempat tidur. RS tersebut akan menjadi rujukan daerah lain di sekitar seperti Sulteng, Maluku dan Papua. Karena itu, pemerintah terus melakukan pembenahan dan peningkatan sarana prasarana.
Nah, ini dari segi fasilitas dan bangunan fisiknya. Masyarakat juga, menurut dia  perlu mengetahui bahwa  perbaikan derajat kesehatan saat ini cukup baik. Beberapa upaya dilakukan seperti pembangunan Puskesmas dari 172 unit tahun 2007 menjadi 252 unit tahun 2012. Jumlah rumah sakit juga bertambah dari   21 unit menjadi 25 unit.  Tenaga dokternya juga demikian,  dari 202  menjadi 429 dokter.

“Kami terus tingkatkan mutu pelayanan dengan menyiapkan tenaga dokter spesialis dan didukung peralatan modern. Demikian juga masalah lingkungan akan terus dilakukan penghijauan,”katanya. ***


Diduga Tadah Mobil Curian, Eks Anggota Polisi Dipolisikan Warga

$
0
0

ilustrasi

SULTRANEWS-Ranggawan (54) harus melaporkan salah seorang mantan anggota polisi berinisial MU di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), Polres Kendari atas dugaan penadaan mobil hasil curian.

Menurut Ranggawan beberapa hari lalu mobilnya diduga dibawa lari oleh seorang lelaki berinisal JU. Setelah dilakukan penyelidikan dengan menggunakan GPS, mobil tersebut sudah berada ditangan MU.

Menindak lanjuti laporan tersebut, anggota kepolisian yang menerima laporan bersama korban bahwa mobil tersebut berada di kediaman MU yang terletak di kecamatan konda, Kabupaten Konsel.

"Kita terima laporan mobil itu di rumah terlapor, dan betul pada saat dilokasi rumah terlapor ada mobil itu," kata Ranggawan.

Saat didapati terlapor sempat mengelak dari korban dan aparat Kepolisian bahwa mobil tersebut adalah bukan yang mereka cari. "Ia nyaris mengakali kami dan berusaha mencabut acci mobil agar GPSnya tidak aktiv," tuturnya.

Namun karena anggota kepolisian yang sudah sigap, kelakukan terlapor kemudiann diketahui. Sehingga mobil Avanza berwarna putih milik Ranggawan berhasil diamankan dan dibawa oleh anggota kePolres bersamaan dengan terlapor.

Salah seorang menantu korban, Icha (31) mengaku, saat ke rumah terlapor bersama anggota kepolisian, menenukan beberapa buah senjata tajam (Sajam) berupa Samurai. Tidak hanya itu kata Icha, sehari sebelumnya dirinya juga pernah digertak oleh terlapor saat mencoba mengecek mobil milik mertuanya itu yang berada diparkiran rumah terlapor. (cai)

Carut Marut Tambang Sultra dalam Catatan Jurnalis Lingkungan (Bagian 3)

$
0
0

Desa Pungkalaero di pesisir dengan latar pegunungan Kabaena Selatan. foto: YOSHASRUL
Nasib Hutan di Selatan Kabaena

Ada cerita mistik tentang hutan-hutan di selatan kabaena yang tidak boleh dijamah. Hutan-hutan tersebut di keramat oleh para leluhur Kabaena khususnya para turunan dari Mokole Kabaena. Tak ada yang boleh menjamah hutan karena kampung keseluruhan akan terkena bala.Tidak mengherankan  jika menyusuri lautan di sisi hutan akan terlihat menghijau. Nelayan di pesisir hidup dengaan air yang cukup dan sumber daya laut yang melimpah. Saya mampir ke rumah ketua adat Pongkalero, Sahibu. Di sana warga telah hadir sejumlah tokoh adat, pemuka agama dan sejumlah anak-anak muda desa. Mereka menjamu dengan penuh keramahan. Dua jam berada di rumah angin mulai berhembus kencang, hingga nyaris mengangkat atap rumah. Kami semua yang berada dalam rumah hanya bisa terdiam sambil membiarkan angin mereda.

Sahibu, menjulurkan jari menunjuk sebuah tanjung yang menjorok dominan ke lautan. Di seberang terlihat jelas   pulau sagori dengan pasir putihnya. “Tak lama lagi hutan di tanjung itu akan hilang dan siap diolah perusahaan tambang,”kata Sahibu. Tanjung itu adalah ‘benteng’ bagi Desa Pongkalaero dengan dua desa lainnya di pesisir. Benteng dari hembusan angin laut yang terkenal kencang itu. Nah, rupanya itulah makna dari para leluhur menjaga dengan kuat hutan-hutan mereka, karena bukan saja mata rantai sumber daya alam yang akan hilang, tetapi  ekosistem laut juga akan terancam jika laju ekploitasi dilakukan. Bukan itu saja ancaman bagi keselamatan warga desa dan harta benda masyarakat menjadi pertaruhan besar, seperti yang akan terjadi jika kelak nikel yang beerada semenanjung kabaena dibongkar, demi memuskan nafsu para pemodal yang serakah.

Inilah sekelumit kisah masyarakat di Pulau Kabaena. Bagi saya, menjejak tanah kabaena khusus di sisi selatan adalah kali pertama. Saya dan Abdul Halim rekan jurnalis Metro TV menumpang  kapal ‘Setia Kawan” melalui  Pelabuhan Kasipute, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana. Pelabuhan Kasipute merupakan pintu masuk menuju Pulau Kabaena. Ada beberapa kapal yang beroperasi melayani rute tersebut, di antaranya Era Mas, Setia kawan dan Kabaena Ekspres.

Untuk menuju Pulau Kabaena, kita dapat menggunakan kapal penumpang reguler yang beroperasi satu kali sehari. Jarak tempuh kurang lebih lima jam mengharuskan kami membayar ongkos 80 ribu rupiah per orang. Kapal lambat laun membelah lautan biru dengan panorama alam membentang. Di kejauhan Nampak rumah-rumah penduduk berjajar rapi baak anai-anai. Rumah-rumah warga suku bajo dan bugis pesisir. Pulau dengan luas 876 Km2 tersebut dihuni sekira 12.000 jiwa. Pulau Kabaena terdiri atas enam kecamatan yang sebagian besar berada di pesisir dengan komunitas Suku Bajo sebagai penghuninya.
Warga nelayan di Pulau Kabaena mencari air bersih dengan menggunakan perahu. foto: YOSHASRUL

Persebaran Suku Bajo di Pulau Kabaena antara lain di Kecamatan Kabaena Barat (Desa Baliara Laut yang terdiri atas Dusun Bambanipa Laut dan Dusun Tanjung Malake, Desa Baliara Kapulauan dan Desa Sikele yang terdiri atas Dusun Tanjung Perak, Dusun Pulau Sagori dan Dusun Pulau Mataha). Di Kecamatan Kabaena Selatan, Suku Bajo  tersebar di Desa Batua dan Desa Pangkalero dan Desa Mapila di Kecamatan Kabaena Utara.

Hutan hijau beratap langit yang panas mengernyitkan mata setiap penumpang kapal. Beberapa pulau seperti mengapung di lautan terlihat nampak berwarna  kecoklatan. pulau-pulau kecil berpenghuni  ini nampak gersang. Bukit-bukit di belakang rumah penduduk kelihatan gosong seperti habis terbakar. Inilah gugus pulau-pulau kecil yang menjadi incaran para penambang. Beberapa  pria berkulit putih bersih dan bermata sipit yang sekapal dengan kami memandang bukit-bukit kecil itu dari balik dinding kapal.  Sedapatnya matanya yang kecil Nampak silau cahaya matahari yang terik di lautan. Dari kantung baju Ia mengeluarkan kacamata hitamnya, lalu digunakan.  Kedua anak muda ini adalah tim eksplorasi sewaan salah satu perusahaan tambang  di kabaena. Karena tidak puas keduanya naik ke anjungan kapal, saat menjelang sore.

Saya ikut beranjak naik anjungan. Angin laut yang mulai dingin langsung menyerbu wajah. Di kejauhan mulai Nampak  gunung watu sangia. Gunung itu  memberi tanda, kapal sudah hampir tiba di ibukota kabaena, Kelurahan Sikeli.

Bentang alam pulau kabaena didominasi oleh pegunungan. Kokoh dengan kesan anggun. Diantara deretan pegunungan, sebuah bukit kars menjulang gagah bernama Batu sangia. Simbol yang mewakili kehidupan masyarakatnya. Pantai beraneka warna membentuk  garis imajiner, batas antara darat dan samudera. Sementara gugusan pulau-pulau kecil yang terbentuk dari atol maupun bukit pasir yang ditumbuhi pinus adalah daya tarik tersendiri. Sebuah lanskap yang memanjakan mata.

Suasana Desa Pungkalaero, Kabaena Selatan. foto: YOSHASRUL
Masyarakat kabaena umumnya memilih membangun pusat-pusat pemukiman di lembah-lembah gunung yang terdapat aliran sungai maupun di pesisir pantai. Tanah yang subur memungkinkan pertanian sebagai penyokong utama ekonomi mereka. Tak heran jika kerajaan buton saat itu menjuluki daerah ini sebagai “kobaena” atau penghasil beras meski orang-orang eropa lebih suka menyebutnya sebagai “comboina”. orang-orang pribumi sendiri menyebut kampong halaman mereka sebagai tokotu’a.

Dimasa lampau pada sekitar abad ke-16, kerajaan Tokotu’a atau kabaena yang berpusat di kaki gunung sangia wita bernama tangkeno, mencapai puncak kejayaannya. Kemakmuran tercipta seiring dengan tumbuh suburnya pertanian, yang dibarengi dengan berkembangnya khasanah budaya, seni dan kearifan lokal. Ironisnya, Setelah pemerintah memegang kendali kuasa atas segala kekayaan alam atas nama Negara, negeri kabaena justru terjerembab dalam kemiskinan yang akut.  

Pulau Kabaena, di masa lampau merupakan pusat Kerajaan Moronene, salah satu etnis di Sultra. "Benteng Tawulagi, tempat pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat bahwa Kabaena pernah menjadi pusat Kerajaan Moronene," kata tokoh budaya Kabaena, Abdul Majid Ege, sebagaimana ditulis Yamin Indas wartawan senior di Sultra  asal Kabaena, di situs pribadinya.

Menurut Madjid, ada beberapa benteng penunjang benteng utama Tawulaagi, yaitu Benteng Doule, Tontowatu, Mataewolangka dan Tuntuntari. "Benteng Tawulagi merupakan tempat pelantikan mokole, mataewolangka tempat mengintai musuh dari arah selatan, Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara dan dua benteng penunjang lainnya masing-masing tuntuntari dan tontowatu merupakan tempat mengintai dari arah timur," katanya.

Di wilayah daratan tenggara Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak ditemukan benteng seperti di Kabaena. Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene memang di Kabaena, bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul Majid Ege, selain masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik Mokole, juga terdapat sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk melawan penjajah Belanda maupun Tobelo."Tobelo merupakan sekelompok orang pada zaman dulu yang kerjanya sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan merampas dan membunuh warga di daratan," katanya.

Menurut Abdul Madjid, benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh.

Aktifitas tambang nikel di pulau Kabaena bagian Selatan milik PT AHB. foto: Yoshasrul
Dengan wilayah  pegunungan dan laut, Pulau Kabaena memiliki banyak kekayaan alam. Di laut, keanekaragaman terumbu karang menjadi faktor penentu banyaknya ketersediaan ikan. Sirkulasi air laut yang berhadapan dengan laut lepas menjadikan daerah tersebut menjadi penghasil rumput laut. Sementara di darat, kekayaan alamnya juga tak kalah, sehingga kuasa pertambangan bermunculan. Setidaknya ada kandungan nikel, emas dan batu kromrik matahari. (YOSHASRUL)

Puspaham Lakukan Tracking Calon Anggota Komisi Informasi Publik Sulawesi Tenggara

$
0
0




Suasana pelaksanaan ujian tertulis calon anggota Komisi Informasi Sultra.foto: YOSHASRUL

SULTRANEWS- Tahapan seleksi anggota KI (Komisi Informasi) Sulawesi Tenggara telah sampai pada tahapan tertulis, beberapa hari kedepan nama-nama yang lulus akan diumumkan oleh timsel kepada masyarakat luas untuk kemudian lanjut ke tahap wawancara. Jelang pengumuman kelulusun tes tertulis hingga tahapan penentuan 10 besar, semua hal bisa terjadi. Kolusi dan nepotisme antara timsel dan peserta barangkali menjadi kemungkinan yang perlu diseriusi, dipantau, diawasi bersama oleh publik.

"Sikap intransparansi dikalangan birokrasi selama ini sudah cukup membudaya, mengakar erat dan cenderung menjadi parasit bagi pelayanan publik. Budaya yang sebenarnya bermuara pada ruang gelap korupsi. Kehadiran Komisi Informasi Sulawesi Tenggara kiranya dapat menjadi angin sejuk bagi masyarakat untuk memperoleh hak-nya atas kran informasi publik yang selama ini ditutup bahkan disembunyikan,"kata Ahmad Iskandar, Koodinator LSM Puspaham Sultra, dalam rilis pers yang dikirim ke media massa.

Lanjut Ahmad Iskandar, saking pentingnya kedudukan, fungsi dan wewenang Komisi Informasi, maka tak khayal peluang masuknya oknum-oknum yang memiliki keberpihakan kepada praktik pembajakan informasi dan/atau titipan kelompok anti-transparansi tertentu adalah poin yang tidak bisa ditawar dan didiamkan begitu saja. Langkah-langkah mengusahakan pembentukan Komisi Informasi di Sulawesi Tenggara tidaklah mudah, memerlukan stamina yang ektra super dan ikhtiar yang cukup menguras banyak ruang dan waktu. Membiarkan oknum-oknum yang tidak bersepakat dan berpihak pada keterbukaan informasi dengan cara mendiamkan mereka lulus dan mengisi jabatan komisioner, justru akan men-dekonstruksi upaya publik selama ini yang telah mendorong perbaikan sikap birokrasi dan penyelenggara negara untuk terbuka, jujur, dan memberikan pelayanan publik yang prima.
Lokasi pelaksaan ujian tetulis Komisi Informasi Publik. foto: YOSHASRUL

Puspaham Sultra bersama Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keterbukaan Informasi Publik (Komasi-KIP) Sulawesi Tenggara, akan melakukan tracking (penelusuran) terhadap calon anggota KI Sultra guna menyelidiki dan memastikan bahwa orang-orang yang akan menduduki jabatan tersebut adalah orang-orang yang bersih dari segala masalah hukum dan perbuatan tercela, berintegritas, dan memiliki kapasitas yang baik serta mempunyai komitmen dan keberpihakan pada sikap anti-korupsi. Setiap langkah-langkah penelusuran terhadap profil calon anggota KI Sultra akan diserahkan dan menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi tim seleksi. Langkah ini adalah upaya mendeteksi sejak dini mana saja calon anggota KI Sultra yang berpotensi menjadi ‘pembajak informasi”, sehingga hasil yang dikeluarkan Timsel adalah komisioner yang benar-benar diharapkan publik dan bersih dari rekam jejak yang anti terhadap keterbukan. Olehnya itu, partisipasi rakyat untuk memberikan penilaian dan informasi yang berkenaan terhadap nama-nama calon Anggota KI Sultra juga sangat penting adanya. 

Bagi masyarakat yang memiliki informasi tersebut, diharapkan mengirim informasi profil calon anggota KI Sultra dengan disertai (foto, video,  dokumen, dan sebagainya) ke alamat email trackingKIsultra@gmail.comdan contact person 082346066758 (eki).

Komunitas Satra Muda Kendari Gelar Malam Sastra

$
0
0

ilustrasi. log.viva.co.id
 “Let Art Brings Peace” 
 
Sebagai salah satu komunitas baru yang bergerak pada bidang seni, sastra dan budaya, Komunitas Sastra Muda mendapatkan kepercayaan dan kesempatan yang sangat besar dengan meraih hibah Seni Cipta Perdamaian dari Yayasan Kelola yang bekerjasama dengan Kedutaan Denmark. Melalui program Seni Cipta Perdamaian 2016 ini, KSM mengusung judul kegiatan Malam Satra, dan memilih untuk mengangkat konflik dalam keluarga akibat perbedaan pendapat dalam pemilihan umum.

Pada kegiatan Malam Sastra di Sultra yang pertama ini, yaitu tepatnya pada tanggal 30 Juli 2016, KSM akan mengangkat isu politik di lingkungan keluarga. Sebagaimana yang kita ketahui bawah pesta demokrasi yang baru saja terjadi pada tanggal 9 Desember 2015 masih meninggalkan ketegangan pada institusi sosial yang paling kecil, yaitu keluarga, sehingga pesta demokrasi lebih nampak seperti perang demokrasi. Untuk menghindari konflik antara keluarga pada pemilihan Walikota Kendari yang akan datang, maka KSM memutuskan untuk mengadakan pementasan seni teater parodi dan pameran gambar yang mencoba menyampaikan pesan tentang kedewasaan berpolitik untuk menciptakan perdamaian demokrasi.

Dalam merespon isu yang terjadi di Kota Kendari KSM memilih strategi pendekatan sosial yang dirangkai dalam balutan seni, sehingga masyarakat dapat lebih santai tanpa ketegangan politik dalam menikmati pentas yang berisi pelajaran tata krama dalam berpolitik yang menuntut kedewasaan dalam berpolitik. Adapun tahapan proses kegiatan ini adalah; kegiatan ini akan diawali dengan pameran gambar dari beberapa perupa muda di Kota Kendari sejak pukul 13.00 wita dan akan dilanjutkan dengan pementasan teater parodi yang berjudul ‘Madona’ pada pukul 20.00 wita, dimana penonton akan disuguhkan aksi beberapa tokoh yang akan menunjukkan akibat negatif dari tidak adanya kedewasaan berpolitik dalam satu keluarga yang dibandingkan dengan satu keluarga yang masing-masing memiliki kedewasaan dalam berpolitik.

Adapun hasil nyata yang ingin dicapai melalui pementasan teater parodi dan pameran gambar ini adalah perubahan pola pikir masyarakat setelah mengikuti beberapa rangkaian acara Malam Sastra di Sultra. Kesadaran masyarakat akan pentingnya ikut berpartisipasi dalam pilkada tanpa harus mengikutsertakan kepentingan pribadi dan dapat menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, sehingga ketegangan dan konflik antar keluarga dapat terhindar.

Kegiatan ini dipercaya akan memberikan dampak yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kegiatan ini bersifat terbuka bagi media yang ingin meliput, sehingga masyarakat yang tidak berkesempatan hadir dapat tetap mendapatkan informasi terkait dengan tata krama dalam berpolitik. Begitupula dengan organisasi lainnya yang berfokus pada isu-isu sosial, HAM, hukum dan politik, Malam Sastra dapat menjadi salah satu bahan dalam menyikapi ketegangan politik dari sudut pandang yang berbeda dan juga dapat diperuntukan sebagai bahan advokasi atau pendampingan pendidikan politik yang sehat. (Imut)



Ini Jadwal Pemberangkatan Jamaah Calon Haji Asal Sultra

$
0
0

SULTRANEWS- Jamaah calon haji asal Sulawesi Tengara  secara keseluruhan dinyatakan siap berangkat menuju tanah suci mekkah untuk menunaikkan ibadah haji mulai tanggal 29 hingga 31 agustus 2016. Calon haji asal sulawesi tenggara yang berangkat menunaikan ibadah haji tahun ini sebanyak 1335 orang yang dibagi dalam 3 kelompok terbang.

Persiapan keberangkatan para calon jamaah haji tahun 2016 asal sulawesi tenggara kini dinyatakan telah rampung dan tinggal menunggu penyelesaian visa yang dilakukan langsung oleh pihak kementerian agama dan kementerian haji kerajaan arab saudi. Sementara untuk persiapan lain tingkat daerah asal juga terus dilakukan, mulai manasik haji dan juga pemeriksaan kesehatan.

 Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Tenggara Muhamad Ali Irfan mengatakan, tidak ada permasalahan dalam persiapan keberangkatan para calon haji saat ini . “Tiap kabupaten dan kota asal telah menyerahkan dokumen pasport untuk proses keberangkatan. Sesuai jadwal keberangkatan para calon haji asal sulawesi tenggara akan mulai bertolak menuju jeddah pada 29 hingga 31 agustus nanti,”kata Ali Irfan.

Mereka akan menempati pemondokan di wilayah Jarwal dan Syisyah,  pada maktab 31.  32  dan maktab 10 syisyah. Untuk keberangkatan para calon haji sulawesi tenggara disiapkan pula 12 orang tenaga pendamping haji daerah dan 12 orang petugas kloter.  YJ
Viewing all 221 articles
Browse latest View live